Wednesday, February 22, 2012

Mereka Terpaksa Berganti Nama untuk Menutupi HIV

PAPUA- Jauh di dalam hutan hujan tropis Papua yang kaya dan indah, di tepi danau Sentani nan elok dan di antara gedung-gedung simbol pembangunan yang bergerak tergesa, tersimpan ancaman lain yang jadi pembunuh diam-diam anak bangsa yang malang ini, yakni penyakit HIV/AIDS.

Jumlah penderita AIDS di Papua termasuk tertinggi di Indonesia. Awal Desember tahun lalu, kepada sejumlah media di Sentani, Ketua Penangulangan AIDS (KPA) Papua, Constant Karma mengatakan angkanya sudah menembus 10.522 kasus, naik dari 2010 yang hanya 7.000 kasus.

Faktor utama penyebabnya adalah perilaku seks berisiko tinggi, di mana seseorang kerap bergonta-ganti pasangan. Kebiasaan ini didukung lingkungan yang mudah menemukan pekerja seks komersial baik yang di lokalisasi maupun di jalanan. Selain itu, diskriminasi dan pengucilan terhadap orang dengan HIV/AIDS, membuat seseorang yang positif mengidap penyakit tersebut enggan bercerita kepada keluarga mereka. Para penderita lebih memilih diam dan tetap melanjutkan hidup seolah tak terjadi apa-apa, termasuk berhubungan seks orang lain.

Ketika mengunjungi Puskesmas Sentani bersama beberapa wartawan dari Jakarta, Senin 20 Februari lalu, kami mendapat informasi yang cukup mengejutkan.

Kepala Puskesmas, dokter Dian Gritnowati menceritakan, sepanjang tahun ini saja sudah delapan orang pasien yang berobat dinyatakan positif HIV. Tren ini terus meningkat jika dirunut dalam lima tahun terakhir. Bayangkan, untuk tingkat kecamatan, pada tahun 2008 tercatat 7 penderita. Tahun berikutnya naik mejadi 19 penderita dan naik lagi menjadi 20 penderita pada tahun 2010. Tahun lalu, sebanyak 28 warga Sentani terdeteksi positif HIV.

"Angkanya bisa bertambah jika kita memasukkan data dari Rumah Sakit dan KPA," kata Dian.

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ini mengatakan, Puskesmas Sentani melayani 48.425 jiwa yang tersebar di Distrik Sentani Timur, Kemtuk Gresi dan Distrik Arso. Sebagian besar pasien yang dinyatakan positif adalah ibu-ibu karena mereka lebih rajin memeriksakan diri ketimbang kaum pria.


Karena tingginya penyebaran AIDS, prosedur yang jamak berlaku di tiap Puskesmas di Papua agak berbeda dengan Puskesmas yang ada di Pulau Jawa. Di Sentani misalnya, seorang pasien yang hendak berobat biasanya diperiksa terlebih dahulu di bagian laboratorium untuk mengecek Malaria dan AIDS, baru kemudian mengurus administrasi rumah sakit. Lalu mengapa jumlah pasien HIV/AIDS terus bertambah?

Dokter Dian menjelaskan, peningkatan ini dipengaruhi oleh kian gencarnya kegiatan pendataan oleh Puskesmas, rumah sakit dan KPA. "Jadi datanya pasti akan bertambah karena pendataan masih terus berlangsung," katanya. Selama ini, menurut dokter Dian, penanggulangan dan pencegahan sebenarnya sudah digalakkan pemerintah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat. Misalnya dengan kampanye untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS.

Hal ini salah satunya kami temui ketika berkeliling kota Jayapura, banyak poster-poster yang mengingatkan generasi muda soal bahaya AIDS. "Kami memang sengaja menyasar generasi muda karena banyak kasus ditemui mereka yang anak-anak juga terinfeksi. Pernah ada kasus pelajar SMP, umur 14 tahun sudah positif HIV," katanya.

Selama ini, pihak Puskesmas selalu mencatat nama dan alamat pasien yang dinyatakan HIV untuk dipantau dan diobati. Tetapi, problemnya kerap kali yang bersangkutan berpindah-pindah tempat dan berganti-ganti nama. "Nama mereka bisa empat sampai lima. Berobat ke Puskesmas juga sering pakai kartu Jamkesmas orang lain, tapi kami sudah membedakan," kata Dian.

"Ada beberapa suku yang Musa, Muka Sama karena susah dibedakan," imbuhnya sembari terkekeh.

Dalam beberapa kasus, kata Dia, ditemui juga seorang pasien yang sama sekali tak menganggap HIV/AIDS berbahaya. Bagi mereka sakit itu ya sakit pinggang, sakit kepala, kalau disampaikan HIV, mereka santai," katanya.

Demikian juga dengan anjuran memakai kondom saat berhubungan seks berisiko tinggi yang ternyata tak berjalan sesuai yang diharapkan.

Sementara itu, pemerintah pusat, seperti disampaikan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sangat konsern dalam menangani masalah AIDS di Papua. Pemerintah juga berupaya agar penderita tidak didiskriminasi baik di keluarga maupun lingkungan kerja. Selain di hilir, pemerintah juga menangani dari hulu, salah satunya dengan mendirikan Politeknik Kesehatan di Jayapura yang membuka Jurusan Keperawatan, Gizi, Kesehatan Lingkungan, dan Analis Kesehatan

"Pemerintah konsern dalam penanggulangan HIV/AIDS di sini dan terus diupayakan diminimalisir penyebaran HIV/AIDS," ujar Endang saat meresmikan gedung rektorat politeknik tersebut di Jalan Padang Bulan II Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Kota Jayapura.(ugo)


Sumber; http://news.okezone.com