Wednesday, February 18, 2009

Suret Kepada Sekretaris Negara Amerika Hillary Clinton

Sekretaris Negara Clinton
Sekretariat Negara
Washington, DC

Februari XX, 2009

Ibu Sekretaris Clinton:

Sebagai organisasi yang menaruh perhatian tinggi terhadap hak asasi manusia dan keadilan di Indonesia dan Timor Timur (Timor Leste), kami mendorong Anda menjadikan hak asasi manusia (HAM) dan reformasi sebagai isu utama dalam kunjungan mendatang ke Indonesia. Seperti Anda, kami pun menghargai hubungan yang kuat antara Amerika Serikat (AS) dengan bangsa Indonesia yang demokratis. Kami memahami bahwa banyak isu yang menjadi perhatian bersama kedua negara, di antaranya perubahan iklim dan krisis ekonomi global.

Jika Anda sungguh-sungguh berusaha membuka lembaran baru dalam hubungan AS dengan bangsa berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, kami mendorong Anda menegaskan kepada pemimpin Indonesia pentingnya menghargai HAM dan bantuan keamanan didasarkan atas akuntabilitas dan reformasi yang sesungguhnya. Meski pemimpin Indonesia akan tidak senang, namun rakyatnya akan berterima kasih.

Selama ini pemerintah Amerika Serikat telah mendukung pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia. Dalam tahun-tahun terakhir, pemimpin AS kerap berbasi-basi soal pertanggungjawaban HAM dan reformasi. Bantuan untuk Militer Indonesia (TNI) berkembang pesat – tanpa dibarengi reformasi TNI yang signifikan dan kegagalan meminta pertanggungjawaban TNI atas pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini. Setiap usaha menjadikan akuntabilitas dan HAM sebagai prasyarat kerjasama menguap di tengah jalan.

Pemerintahan AS sebelumnya beralasan bahwa hubungan erat dengan militer Indonesia akan mendorong reformasi dengan memperkenalkan personil TNI terhadap perspektif demokratis dan membangun penghargaan atas HAM dan kendali sipil. Namun beberapa dekade kerjasama AS dengan militer Indonesia tidak menunjukkan perbaikan yang lahir dari kolaborasi tersebut. Justru banyak petinggi militer lulusan AS terlibat dalam kejahatan terburuk di Timor Timur (Timor Leste) dan tempat-tempat lainnya.

Perubahan terbesar hanya terjadi ketika AS menghentikan bantuan militer, seperti pembiayaan dan pelatihan militer asing semacam IMET dan JCET. Sebagai contoh, selama periode singkat reformasi serius pada tahun-tahun awal pasca jatuhnya diktator Suharto, ketika pemisahan antara polisi dan militer rampung, pejabat militer yang tak dipilih lewat Pemilu dikeluarkan dari DPR, dan Timor Timur dalam proses menuju kemerdekaan.

Sekarang ketika AS kembali bekerja sama dengan militer Indonesia, organisasi dalam negeri dan internasional sudah banyak mendokumentasikan penolakan militer Indonesia untuk tunduk di bawah kendali dan pengawasan sipil.

TNI terus menghindari transparansi anggaran dan mempertahankan impunitasnya atas kejahatan kemanusiaan. Pemerintah belum mengeluarkan daftar bisnis TNI yang sudah lama diselesaikan, langkah penting menuju divestasi semua bisnis militer pada tahun 2009 seperti diamanatkan undang-undang, meski Menteri Pertahanan berulangkali berjanji melakukannya. Menurut laporan, banyak aset yang telah diambil alih dari perusahaan-perusahaan milik TNI. Laporan HAM Sekretaris Negara AS menggambarkan lingkaran pelacuran TNI di Papua, sementara pembalakan liar dan pemerasan atas perusahaan asing maupun domestik terus berlangsung di sana sini.

Laporan PBB, laporan Sekretariat Negara dan lainnya menggambarkan pengadilan HAM Indonesia tidak mampu mengadili militer dan polisi pelaku pelanggaran HAM serius, termasuk mereka yang terlibat dalam pembantaian Tanjung Priok dan kekerasan Abepura (Papua). Semua yang diadili oleh Pengadilan HAM ad hoc Jakarta tentang Timor Timur dibebaskan. Tidak ada pejabat senior yang divonis atas kejahatan besar terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan di Timor Timur dari 1975 – 1999. Pejabat yang dituduh melakukan kejahatan serius tetap menikmati puncak karirnya. Beberapa dari mereka, kini menjadi kandidat kuat presiden dalam Pemilu tahun ini. Banyak kalangan di Papua yang memandang otonomi khusus gagal. Militer dan polisi dengan brutal melumpuhkan rakyat Papua yang melakukan unjuk rasa damai menuntut kendali lebih luas atas tanah mereka dan memprotes kerusakan lingkungan serta penggundulan hutan. Di Maluku dan Papua, pengunjuk rasa dijatuhi hukuman penjara yang cukup lama atas pembangkangan damai mereka.

Beberapa pensiunan pejabat militer senior yang bekerja di BIN dituduh merencanakan dan memerintahkan, pada tahun 2004, pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis HAM terkemuka. Namun mereka belum berhasil dijatuhi hukuman. Kegagalan menyelesaikan pembunuhan atas pembela HAM sekaliber Munir meletakkan mereka yang berada di garis depan penegakan HAM pada posisi yang kian mematikan. Pejuang HAM di Papua dan Papua Barat terus dibayang-bayangi ancaman dan kekerasan.

“Sistem komando teritorial” meletakkan TNI di tingkat desa dan memungkinkan mereka tetap terlibat dalam dunia bisnis dan politik. Sistem yang terus dipertahankan ini merupakan ancaman terhdapa Pemilu mendatang. Front Pembela Islam dukungan TNI telah menteror partai-partai kecil dan individu-individu yang kritis terhadap TNI.

Sikap pemerintahan sebelumnya memperlakukan TNI sebagai “mitra” dalam perang melawan terorisme menciptakan masalah mendasar lain. Bantuan Amerika terhadap dan kerjasama dengan TNI mengabaikan kenyataan bahwa Polri-lah dan bukan militer yang bertanggungjawab untuk mengejar kelompok teroris yang dicurigai. (Laporan terbaru dari departemen Anda “Laporan tentang Terorisme” memuji usaha-usaha kaum sipil dan tidak menyebut TNI.)

Pemerintahan sebelumnya berjanji akan mengatur dengan seksama setiap bantuan keamanan ke Indonesia guna mendorong reformasi dan HAM. Tidak ada bukti mereka betul-betul melakukannya. Kami mendorong Anda mengevaluasi dampak bantuan keamanan AS atas dasar akuntabilitas, reformasi militer dan HAM.

TNI menilai sikap pemerintah AS. Pernyataan mendukung HAM dan reformasi akan diabaikan TNI kecuali bantuan AS ditunda hingga benar-benar ada kemajuan. Kami mendorong Anda menggunakan pengaruh ini dan membatasi bantuan hingga perkembangan substansial betul-betul terjadi.

Kami secara khusus mendorong untuk tidak melanjutkan bantuan atau kerjasama dengan Kopasus yang punya sejarah hitam. Mereka adalah elemen TNI yang paling termashyur kekejamannya. Juga tidak boleh ada bantuan terhadap badan intelijen militer dan sipil (BAIS dan BIN) yang memiliki sejarah panjang menindas kelompok-kelompok -lembaga HAM dan aktivis lainnya. Seperti dikemukakan di atas, BIN terkait dengan pembunuhan pejuang HAM Munir.

Pendekatan yang tidak tegas akan melemahkan usaha memperkuat kendali sipil atas TNI dan mencapai pertanggungjawaban hukum atas korban-korban pelanggaran HAM.

Hormat kami,

John M. Miller
National Coordinator, East Timor and Indonesia Action Network (ETAN)

Rev. Dr. Dennis M. Davidson
President, Unitarian Universalist Peace Fellowship

Brian Keane Director, Land is Life

Ed McWilliams
Eben Kirksey
West Papua Advocacy Team

Joseph K. Grieboski
Founder and President, Institute on Religion and Public Policy

Dr. Gregory H. Stanton
President, Genocide Watch

Diana Bohn
Co-Coordinator, Nicaragua Center for Community Action (NICCA)

Liz Ryder
West Papua Action Network

Mary Anne Mercer, DrPH Deputy
Director, Health Alliance International

David Hartsough
Executive Director PEACEWORKERS

Sharon Silber and Eileen B. Weiss
Co-Founders, Jews Against Genocide

John Witeck
Coordinator, Philippine Workers Support Committee

Jeff Ballinger
Executive Director, Press for Change

Elaine Donovan
Co-founder, Concerned Citizens for Peace

Mary Beaudoin
Director Women Against Military Madness

Tom Mahedy
Organizer, Pax Christi USA, New Jersey Chapter

Zelia Cordeiro
VIVAT International

Bill Towe
Board Member , NC Peace Action

Rev. John Chamberlin
National Coordinator, East Timor Religious Outreach

Suraiya IT
International Forum for Aceh

Sr. Sheila Kinsey, OSF
Leader of Justice, Peace & Integrity of Creation Office, Wheaton Franciscans

Janet Cordes Gibson, President
Carolyn Scarr, Program Coordinator
Ecumenical Peace Institute/Clergy and Laity Concerned

Lon Burnam
State Representative, Texas

Judith Mayer, Ph.D.
Coordinator, The Borneo Project

Dr. Brad Simpson
Asst. Professor of History and International Affairs, Princeton University

Diana Stauffer
El Dorado Peace and Justice, Placerville, CA

Roger S. Clark
Executive Committee, International League for Human Rights

William H. Slavick
Coordinator, Pax Christi Maine

Diane Farsetta
Coordinator, Madison-Ainaro (East Timor) Sister-City Alliance

Jim Keady
Director, Educating for Justice, Inc.

Ben H. Gordon
Pax Christi, New Orleans

Alan Muller
Executive Director, Green Delaware

Carol Jahnkow
Executive Director, Peace Resource Center of San Diego

Jim Haber
Coordinator, Nevada Desert Experience.

Vicky Steinitz
Community Outreach Committee United for Justice with Peace, the Greater Boston area war

Chuck Warpehoski
Director, Interfaith Council for Peace and Justice, Ann Arbor

David McReynolds
former Chair, War Resisters International

Marie Dennis, Director
Rev. James Kofski, Asia/Pacific and Middle East Issues
Maryknoll Office for Global Concerns

Rosemarie Pace, Director
Pax Christi Metro New York