Saturday, May 8, 2010

Pemerintah Tolak SK MRP

Jakarta [PAPOS] - Menteri Dalam Negeri [Mendagri] telah mengirimkan surat kepada Majelis Rakyat Papua [MRP] agar membatalkan Keputusan Nomor 14 Tahun 2009 yang menyebutkan kepala daerah di Papua harus orang asli Papua.

Seusai Rapat Dengar Pendapat [RDP] dengan komisi II DPR RI di Jakarta, Rabu [5/5] Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya telah melakukan pembahasan terhadap apa yang terjadi di Papua dan telah mengirimkan surat kepada MRP untuk membatalkan keputusannya Nomor 14 tahun 2009.

Keputusan MRP yang mengisyaratkan kepala daerah di Papua harus orang asli Papua, menurut Mendagri, sangat bertentangan dengan prinsip hidup bernegara karena sangat diskriminatif.

"Kita telah membicarkan permasalah Papua bersama-sama. Kemarin kita juga telah mengirimkan surat kepada MRP jika keputusannya itu sangat diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Gamawan kepada SH yang di release Papua Pos.

Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda), Kemendagri, Sodjuangon Situmorang mengatakan dalam surat yang dikirimkan pihak Kemendagri kepada MRP, Kemendagri minta agar semua pihak untuk kembali kepada Undang-Undang yang berlaku, karena menurutnya UU No. 21 Tahun 2001 menyebutkan, MRP hanya bisa memberikan pertimbangan terhadap pemiliham bupati dan walikota.

Sementara DPRP sendiri telah membentuk Pansus Pilkada terkait dengan terbitnya SK MRP Nomor 14 tahun 2009 tersebut. bahkan sebagaimana hasil pertemuan DPRP, KPU dan MRP pada waktu lalu, DPRP yang memberikan opsi pelaksanaan Pemilukada Papua akan ditunda menunggu adanya turun peraturan pemerintah atas keputusan MRP tersebut.

Tergantung MA

Sementara itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Gusti Putu Artha, mengatakan, seperti kesepakatan yang telah dibuat oleh KPU, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhu­kam), serta pihak Papua, saat ini telah dibentuk tim kecil yang akan meminta pendapat hukum dari MA mengenai surat keputusan yang dikeluarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor 14 Tahun 2009, yang mensyaratkan kepala daerah di tanah Papua harus orang Papua asli.

“Untuk pilkada di Papua yang telah kami serahkan, KPUD-nya merevisi jadwal penyelenggaraan pilkada, akan menunggu pendapat hukum dari MA mengenai surat Keputusan MRP. Jadi apa pun nanti pendapat hukum yang diberikan oleh MA, itu yang akan kita sebarkan dan kita jalankan,” kata Putu.

Menurut Putu, pendapat hukum yang dikeluarkan oleh MA sangat penting karena akan menjadi sinkronisasi yu­ridis antara dua produk hukum yang berbeda tafsir, yaitu SK MRP Nomor 14 Tahun 2009 dan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Dengan demikian, diharapkan gejolak politik yang saat ini muncul di Papua dapat diredam dan pilkada bisa berjalan dengan lancar.

Selain itu, Putu juga mengungkapkan, telah menonaktifkan 19 anggota KPUD beberapa daerah di Papua melalui pembentukan Dewan Kehormatan (DK) karena dianggap telah melanggar kode etik dalam menjalankan tugasnya.

“Setelah kelompok kerja (pokja) pilkada terbentuk, kami langsung melakukan eva­luasi terhadap seluruh anggota KPUD dan hasilnya, kami telah menonaktifkan 19 anggota KPUD karena kesalahannya dalam menyelenggarakan pe­milu yang lalu dan dianggap tidak pantas untuk menye­rahkan penyelenggaraan pilkada di Papua kepada mereka,” ungkap Putu. [sh/agi]

www.papuapos.com