JAKARTA: Tiga organisasi pemantau HAM internasional mendesak pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan program bantuan militer ke Indonesia terkait dengan kegagalan mempertanggunjawabkan penyiksaan terhadap warga sipil Papua.
Tiga organisasi itu adalah The West Papua Advocay Team (WPAT) dan Tapol yang berbasis di Inggris, serta East and Indonesia Action Network (Etan) di AS. Dalam siaran pers bersama, ketiga organisasi itu menyesalkan digelarnya persidangan para pelaku penyiksaan itu di pengadilan militer, dibandingkan dengan pengadilan sipil.
Oleh karena itu, ketiganya mendesak agar pemerintah AS dan negara lainnya harus bertindak substantif, secara khusus dengan menghentikan program bantuan militer untuk militer di Indonesia. Reformasi dalam tahapan minimum, ujar mereka, adalah terkait dengan dihentikannya pelanggaran HAM oleh aparat militer Indonesia, serta menggelar sidang atas perbuatan tersebut di pengadilan sipil.
"Penolakan berikut kegagalan untuk mendakwa mereka dengan pelanggaran kriminal yang serius memperlihatkan pola yang sudah berlangsung lama, di mana aparat keamanan tidak dihukum sepantasnya dengan apa yang diperbuat," tulis mereka.
Pada 24 Januari lalu, Pengadilan Militer Jayapuara, Papua menghukum Serda Irwan Rizkianto 10 bulan penjara, Pratu Thamrin Mahangiri 8 bulan penjara dan Pratu Yakson Agu 9 bulan penjara terkait dengan penyiksaan yang dilakukannya petani Tunaliwor Kiwo dan Telengga Gire. Penyiksaan ini muncul dalam situs Youtube.
Video Kiwo dan Gire sebenarnya direkam pada Mei 2010, namun dimunculkan di situs Youtube pada Oktober 2010.Tayangan berdurasi 10 menit itu memperlihatkan penyiksaan tentara yang menendang muka kedua petani tersebut, menyundutnya dengan rokok, membakar penis hingga mendekatkan pisau ke leher. Kiwo akhirnya berhasil lolos pada 2 Juni lalu, sedangkan Gire dibebaskan karena permohonan keluarga.
"Kalangan militer Indonesia khususnya yang beroperasi di Papua Barat, tetap saja melanjutkan tindakan penyiksaan, perkosaan atau pembunuhan ekstra judisial karena menyadari hukum yang diterapkan terhadap pelaku tak pernah efektif," ujar mereka.
Tiga organisasi itu juga meminta agar pemerintah AS, Inggris dan Uni Eropa menyatakan penyesalan mereka secara terbuka atas contoh aktual terkait dengan ketidakadilan di Papua Barat.
Sementara itu, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Indria Fernida mengatakan putusan tersebut kembali menunjukkan lemahnya perangkat peradilan militer sebagai alat untuk menjerat pelaku penyiksaan serta memberikan rasa keadilan bagi korban.
"Putusan ini tidak memberikan efek jera kepada para pelaku dan justru menjustifikasi tindakan penyiksaan sebagai alat untuk mendapatkan keterangan dari warga sipil. Kami mengkhawatirkan putusan ini akan memperkuat keberlangsungan tindakan kesewenangan aparat militer kepada warga sipil," ujar Indria di Jakarta.
Menurut dia, Kontras meyakini bahwa peristiwa serupa masih sering terjadi di Papua, khususnya di Puncak Jaya karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah operasi militer dan sulit terjangkau dari pemantauan publik. Oleh karenanya Komnas HAM harus meninjau kembali penyelidikan yang telah dilakukan untuk memastikan rangkaian peristiwa pelanggaran HAM di Puncak Jaya.
Sumber: http://www.bisnis.com/umum/politik/9718-as-diminta-stop-bantuan-militer-ke-ri
Wednesday, January 26, 2011
AS diminta stop bantuan militer ke RI
1/26/2011 06:16:00 PM
Elsham News Service