Jayapura – Maraknya kekerasan di Papua dalam sebulan terakhir ini menurut pandangan beberapa aktivis di Papua tidak bisa di lihat dari satu sisi saja sebagai sebuah tindak kriminal murni, namun apa yang terjadi ini merupakan sebuah aksi “by design” yang di kembangkan dan di kelola secara baik oleh Orang Tak di Kenal (OTK), dan sarat muatan politis di dalamnya dengan berbagai agenda dan kepentingan. Hal tersebut di tegaskan oleh Pdt. Socrates Sofyan Yoman kepada Bintang Papua via telepon semalam. Menurutnya, sekuat apapun aparat polisi berusaha mengungkap apalagi menangkap, hasil akhirnya sudah bisa diketahui, karena sebenarnya “otak” dari rangkaian peristiwa ini sudah di ketahui, namun persoalannya apakah polisi punya kapasitas untuk menyentuh OTK ini atau tidak.
“wilayah OTK tidak bisa sentuh, sebenarnya polisi tahu, tapi mereka tidak punya kapasitas untuk menyentuh itu, karena itu 100 % OPM piaraan OTK, dan merupakan bentuk black campaign terhadap perjuangan bangsa Papua menjadi bangsa yang merdeka”, tegas Pdt. Sofyan Yoman.
Menurutnya sejak tahun 2000, 2001 dan 2002, para pegiat dan pejuang kemerdekaan Papua sudah melakukan koordinasi untuk membangun kesepahaman bahwa perjuangan Papua tidak bisa di capai dengan jalan kekerasan, pembunuhan, dan intimidasi terhadap warga sipil, karena itu merupakan kampanye buruk bagi perjuangan bangsa Papua, karena tidak ada negara manapun yang akan simpatik terhadap nasib bangsa Papua kalau pendekatan kekerasan yang di pakai.
“mulai dari Jouweni, Thadius Magaiyogi, Pekikir, Kelly Kwalik sejak tahun 2000 semua sudah sepakat menempuh jalur damai dan menghentikan kekerasan, tapi mengapa momentum Konferensi ILWP kemarin di jadikan batu loncatan untuk kembali memunculkan aksi – aksi kekerasan, karena kita semua mendukung kampanye Papua Tanah Damai, jadi perjuangan bangsa Papua harus di lakukan secara damai”, tegasnya menambahkan pesimis bahwa Polda Papua akan menuntaskan kasus ini.
Menurutnya kalau selama ini banyak release dan pengakuan dari beberapa orang bahwa TPN/OPM bertanggung jawab di balik serangkaian kekerasan dan kekejian terhadap warga sipil khususnya, menurutnya itu bukan OPM asli, namun merupakan OPM piaraan OTK.
“jadi OTK ini adalah dalangnya, mereka adalah orang terlatih yang memang piawai melakukan serangkaian aksi, bahkan juga membentuk OPM piaraan yang bisa di setir untuk serangkaian aksi, dan kami sangat mengutuk aksi kekerasan terhadap warga sipil, jadi kepada adik – adik yang selama ini di piara oleh OTK untuk mengaku sebagai OPM, sebaiknya menghentikan aksi - aksinya”, kata Sofyan Yoman.
Gustav Kawer, SH salah satu pegiat HAM di Papua yang juga praktisi hukum juga mengemukakan pandangan serupa, menurutnya tindak kekerasan yang marak terjadi bukti bahwa aparat tidak mampu memberikan rasa aman kepada warga masyarakat, menurutnya bila ini sebuah tindakan kriminal murni seperti yang sering di sampaikan aparat selama ini, mestinya tidak susah untuk mengungkapnya, namun kekerasan yang marak terjadi ini merupakan bagian dari sebuah propaganda dan konspirasi, maka tidak mudah untuk mengungkapnya.
“kita berharap Polda Papua serius agar hal ini tidak meresahkan masyarakat dan menjadi fitnah bagi orang Papua, kalau Polda Papua tidak mampu ungkap, saya pikir harus ada pertanggung jawaban para petingginya untuk mundur dan menyerahkan pimpinan kepada yang lebih memiliki nyali untuk mengungkap kebenaran”, tegas Gustav Kawer kemarin.
Menurutnya lagi, sekiranya ini benar – benar aksi “balas dendam” yang di lakukan oleh kelompok OPM, rasanya lebih mudah membinasakan masyarakat transmigrasi misalnya yang bermukim didaerah sekitar hutan, tapi mengapa aksi harus di lakukan di tengah kota.
“secara objektif kita melihat, ini merupakan sebuah tamparan bagi aparat, karena aksi tersebut terjadi di depan mata, berarti aparat gagal memberikan rasa aman kepada masyarakat, dan ini tidak bisa di biarkan terus”, katanya lagi.
Kekerasan di Papua sebulan terakhir meningkat, dimana berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jakarta sepanjang bulan Agustus saja sudah terjadi sembilan tindakan kekerasan di Papua.
Dalam catatan Kontras, rangkaian kekerasan tersebut adalah: penembakan terhadap warga sipil di Nafri (1 Agustus). Sebanyak empat orang meninggal dunia, dimana Dany Kogoya yang mengaku sebagai Panglima Perang Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) mengaku bertanggung jawab.
Penikaman terhadap calon mahasiswa La Ode Rusdi di Jayapura saat aksi demo KNPB (2 Agustus) yang di bantah oleh KNB di lakukan oleh massa pendemo, Rangkaian penembakan terhadap warga sipil (1 dan 16 Agustus) terjadi di pinggiran Kota Jayapura di perkampungan Nafri dan Abe Pantai, Tanah Hitam, dan Kamp Key, Pembunuhan terhadap dua tenaga pengamanan Kantor Kwarda Pramuka (15 Agustus). Korban adalah Majib dan Abner Kambu.
Berkutnya upaya pembunuhan terhadap Indra, mahasiswa STAIN Al Fatah, Jayapura (16 Agustus), sementara itu, di daerah pedalaman, seperti di Paniai, terjadi serangan atas Polsek Komofa (16 Agustus), rentetan tembakan di lapangan kantor Bupati Paniai (17 Agustus), kontak senjata di jalan trans-Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Paniai (17 Agustus) dengan korban tewas satu orang diduga anggota OPM, sementara dua polisi dan satu tukang ojek terluka.
Terdapat juga kontak senjata di Distrik Madi-Paniai (17 Agustus) yang mengakibatkan kendaraan pengangkut makanan tertahan. Lainnya, penembakan terhadap tukang ojek di Jalan Yamo Distrik Mulia di Kabupaten Puncak Jaya (20 Agustus). Korban tewas atas nama Buasan (40).
Sementara itu Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Wachyono yang ingin dikonfirmasi semalam soal ultimatum tersebut via HP-nya tidak berhasil. (amr/don/l03)
sumber; http://bintangpapua.com
Saturday, August 27, 2011
Kalau Tak Bisa Ungkap, Kapolda Diminta Mundur !
8/27/2011 01:09:00 AM
Elsham News Service