Friday, August 12, 2011

Horizontal-Vertikal Bersamaan

Sejak menjadi bagian dari Indonesia, sampai kini Papua terus bergejolak. Persoalan sosial yang terus mengemuka, berbentuk penyerangan atau tuntutan untuk referendum, tak dapat dibiarkan begitu saja. Tuntutan itu harus diselesaikan dengan memakai pendekatan horizontal dan pendekatan vertikal.

Oleh karena itu, perlu dibuat solusi komprehensif, baik itu jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Harapan itu dilontarkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Budi Susilo Soepandji, pekan lalu di Istana Presiden, Jakarta.

Lontaran Budi Susilo itu berdasarkan kondisi Papua selama ini. Secara horizontal perlu ada penyadaran bagi warga Papua yang tersebar di pesisir, perkotaan, dan pegunungan tentang keberadaannya sebagai satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rakyat Papua yang memiliki lebih dari 400 bahasa perlu juga disadarkan bahwa mereka disatukan oleh bahasa Indonesia.

Secara vertikal, rakyat Papua juga disadarkan akan adanya kebijakan otonomi daerah yang perlu ditaati. Pemerintah juga perlu memerhatikan aspirasi warga di sana tentang apa yang terbaik bagi Papua.

Meski pendekatan secara lunak perlu dilakukan, penegakan hukum tetap harus dikedepankan. Terkait tuntutan referendum di Papua, kata Budi Susilo, itu harus ditolak. Papua adalah bagian dari NKRI.

Pendekatan horizontal dan vertikal, untuk menyelesaikan persoalan di Papua, secara tak langsung diakui peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti. Ia mengakui, gerakan rakyat Papua mengalami perubahan. Jika dulu gerakan menuntut kemerdekaan dilakukan dengan cara militer sporadis, seperti dilakukan Organisasi Papua Merdeka, kini pendekatan diplomasi dan politik internasional yang gencar dilaksanakan.

Aktivis yang menuntut kemerdekaan Papua lepas dari Indonesia meniru gaya Timor Leste, yang membangun jaringan di luar negeri. Dalam konteks ini, persoalan tidak lagi ditentukan oleh politik negara dengan negara, tetapi aktor non-negara juga bisa berperan. Pemerintah Indonesia mesti mencari informasi sedetail mungkin apa yang sebenarnya terjadi di Papua dan penyebabnya. Pemerintah harus pula memetakan siapa representasi dari kelompok yang bisa diajak berdialog.

Mobilisasi massa dengan unjuk rasa damai di berbagai tempat di Papua, 2 Agustus lalu, juga adalah fenomena tersendiri. Aksi damai itu menimbulkan empati, baik di tingkat domestik maupun internasional. ”Semua ini harus dipahami Pemerintah Indonesia. Jangan lagi business as usual,” kata Ikrar di Jakarta.

Perbaiki taraf hidup

Sebaliknya, menurut Samuel Atbar, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Musamus Merauke, Papua, Senin (8/8) di Merauke, rentetan kekerasan di beberapa tempat di Papua harus direspons pemerintah dengan berupaya lebih keras memperbaiki taraf hidup masyarakat asli Papua. Pendekatan keamanan tak akan menyelesaikan akar masalah, sebaliknya membuat masyarakat Papua kian merasa tertekan.

”Padahal, indikasi otonomi khusus adalah masyarakat sejahtera sehingga muncul ketidakpuasan,” ungkapnya.

Menurut Samuel, sejak penerapan otonomi khusus harus diakui terjadi perubahan di Papua. Pembangunan dijalankan, tetapi belum menyentuh seluruh masyarakat Papua. Kondisi itu memunculkan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Aksi kekerasan belakangan ini bukan dilatarbelakangi ideologi, namun karena ketidakpuasan itu.

Untuk itu, Samuel berpendapat, pendekatan yang diambil untuk penyelesaian konflik adalah memperbaiki pelaksanaan otonomi khusus. Aparat keamanan di Papua tidak perlu lagi ditambah dengan mendatangkan dari luar Papua, bahkan bila perlu jumlahnya dikurangi.

Selain memperbaiki implementasi otonomi khusus, Samuel menyarankan perlu pula dilakukan pendekatan budaya. Aparat keamanan di Papua harus belajar budaya lokal sehingga dapat lebih memahami kondisi masyarakat setempat.

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, mengatakan, persoalan Papua tak kunjung terselesaikan, pertama-tama karena baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak serius dan berkomitmen melaksanakan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah pusat juga membiarkan penyimpangan otonomi khusus dan penggunaan dana otonomi khusus.

”Banyak ketentuan dalam UU No 21/2001 yang belum dilaksanakan. Banyak peraturan daerah khusus sebagai implementasi otonomi khusus yang tidak dibuat,” kata Kristiadi. Padahal, otonomi khusus adalah tindakan afirmatif dari pemerintah dan masyarakat Papua untuk membangun Papua.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar mengatakan, penyelesaian masalah Papua bisa memakai cara kenegaraan yang bermartabat, yakni tanggung jawab negara kepada setiap individu. Pemerintah memiliki sederet tanggung jawab konstitusional kepada rakyat Papua.

Pemerintah juga harus lebih memerhatikan hak asasi rakyat Papua. Ada rangkaian panjang kekecewaan orang Papua atas penjarahan sumber daya alam dan represi pada kebebasan berekspresi penduduk Papua itu. (why/rwn/ong/dik/fer)

Sumber; http://nasional.kompas.com