Saturday, August 6, 2011

Mendambakan “Surga Kecil”, Tanah Papua

Penulis : Odeodata H Julia

Di tengah pekik massa “Papua Merdeka… Papua Merdeka…” di ruas jalan ketika menuju Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), baru-baru ini, perhatian saya tertuju pada seorang ibu berumur sekitar 40 tahun.

Ia seperti tak peduli dengan rombongan pendemo yang lewat di depannya, malah sibuk dengan barang-barang bawaannya berupa hasil kebun.

Wanita bertubuh tambun ini memang sedang menuju pasar yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Papua yang berada di Jl Percetakan, Kota Jayapura. Namanya Pasar Sementara Mama–Mama Papua. Sembari mengamati sayuran yang dibawa sang ibu, saya bertanya, “Mama tra ikut demo kha (ibu tidak ikut demo-kah)?”

Bah... kalo mama ikut demo, nanti pulang makan orasi kha? Nanti di rumah tong (kita) makan apa? Nanti anak-anak trada (tak ada) uang sekolah lagi. Biar demo itu urusan dorang (mereka) anak-anak muda mahasiswa. Mama urus sayur untuk jual saja,” ujar sang mama yang ternyata bernama Min itu.

Lain Min, lain pula yang diungkapkan sebagian warga Papua. Penduduk Demta di Kabupaten Jayapura, misalnya, sebagian di antara mereka menuntut merdeka. “Kami minta merdeka saja!” tegas Terryanus. Tapi saat ditanya apa arti merdeka, Terryanus tidak bisa menjawab. Ia hanya bilang, “Kalau merdeka pasti jalan bisa mulus lagi.”

Sebetulnya kalau ditelusuri, ada banyak warga Papua seperti Terryanus. Berteriak merdeka, tapi tidak tahu apa arti merdeka. Yang mereka tahu hanyalah: merdeka berarti kondisi jalan mulus, pendidikan murah, kesejahteraan hidup terjamin, kesehatan terjaga, hidup aman dan damai.

Kenyataannya, permintaan merdeka masih terus bergaung di Bumi Cenderawasih. Merdeka yang oleh masyarakat setempat biasanya disebut “M”, adalah akumulasi kekecewaan rakyat. Karena seperti yang dialami penduduk Demta, sudah hampir 30 tahun mereka mengusulkan kepada bupati supaya jalan di kampung mereka diperbaiki, namun sampai sekarang jalan mulus baru sebatas obsesi.

Menurut pengamatan SH, kondisi jalan yang buruk membuat perekonomian warga tidak maju, dan akibatnya masyarakat hidup dalam lingkaran kemiskinan. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi di Wamena. Pada saat berada di Wamena, saya melihat beberapa anak usia sekolah asyik bermain di saat jam pelajaran sekolah.

Ketika ditanya mengapa mereka tidak sekolah, dengan entengnya mereka menjawab, “Bah... untuk apa sekolah? Bu guru saja malas-malas masuk sekolah. Jadi mending tong tra usa (kita tidak usah) sekolah. Jadi kenek (kondektur) taksi saja biar bisa dapat uang,” jawab salah satu anak itu, Theo, dengan nada santai.

Bahkan, dari ekspresi wajahnya terlihat menertawakan saya dengan pertanyaan tadi. Sementara Freddy menambahkan, “Guru sudah tagih uang sekolah dan orang tua tidak mampu membayar.”

Bukan Arti Sempit

Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Papua (Partai Demokrat) Diaz Duijangge mengingatkan teriakan minta merdeka orang Papua jangan langsung diartikan sempit bahwa orang Papua ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Mereka itu minta merdeka secara ekonomi, merdeka di bidang kesehatan, merdeka di bidang pendidikan. Merdeka dari banyak hal. Jangan generalisasi semua aspek menjadi satu. Kalau belum merdeka secara ekonomi, ya kita kerja baik supaya bisa merdeka secara kesehatan dan pendidikan,” ujarnya kepada SH di Jayapura.

Mantan aktivis LSM kemanusiaan yang saat ini duduk di Komisi X DPR itu menjelaskan saat otonomi khusus (otsus) di Papua belum diberlakukan, tidak banyak uang yang masuk ke Papua, tetapi warga bisa hidup dan makan, bahkan bisa menyekolahkan anak mereka sampai tingkat perguruan tinggi. Tetapi saat ini setelah banyak uang masuk Papua, malah banyak persoalan yang terjadi, termasuk semakin banyak anak yang tidak sekolah.

“Saat ini uangnya keluar terus, tapi hasilnya tidak ada. Kasih uang terus, tetapi tidak ada pendampingnya. Makanya pejabat bisa beli mobil sepuluh, beli pesawat, rumah dibuat sekelas hotel lalu menambah bini (istri),” tambahnya.

Menurut Diaz, masyarakat Papua menilai pembagian “kue” otsus tidak merata dan hanya untuk memperkaya segelintir orang terutama para pejabat. “Seharusnya kita kasih masyarakat yang lebih banyak dana ini,” ujarnya.

Ia juga berpendapat, kalau pemerintah serius mendorong kesejahteraan masyarakat lewat cara memberikan sekolah gratis dengan mengirimkan anak-anak Papua bersekolah di luar Papua berikut membuatkan asrama untuk mereka, niscaya nantinya taraf ekonomi rakyat Papua akan meningkat.

“Buat mereka (warga Papua-red) sibuk dan beri mereka kepercayaan, supaya tuntutan 'M' tidak ada lagi. Orang Papua kan manusia juga, mereka ingin pergi berobat tidak bayar, sekolah bisa gratis. Kalau ini bisa dipenuhi, saya yakin seratus persen tak ada lagi teriakan minta merdeka. Kalaupun ada, pasti dalam derajat yang sedikit,” tegasnya.

Diaz juga berpesan agar orang Papua jangan diiming-imingi kata-kata hampa seperti, “Mari bersatu dalam bingkai NKRI”, sebab seseorang tidak bisa dipaksa untuk menjadi bagian yang integral.

“Intinya jangan omdo (omong doang) dan menyodorkan mimpi-mimpi khayalan si miskin. Kalau rakyat melihat pemerintah serius bekerja, mereka pasti akan ikut apa maunya pemerintah. Cuma sekarang, pemerintah pusat mau tidak melakukan itu?” Diaz balik bertanya.

Mengingat Papua, ada baiknya kita kembali mengingat lagu almarhum Franky Sahilatua yang dinyanyikan Edo Kondologit, “Aku Papua”. Lagu ini mengibaratkan Tanah Papua sebagai surga kecil yang jauh dari konflik, menjadikan tanah yang damai, tanah perjanjian.

Tanah Papua, tanah yang kaya

Surga kecil jatuh ke bumi

Seluas tanah, sebanyak batu

Adalah tanah harapan.

Tanah Papua, tanah leluhur

Di sana aku lahir, bersama angin,

Bersama daun, aku dibesarkan

Hitam kulit, keriting rambut

Aku Papua

Hitam kulit, keriting rambut

Aku Papua

Biar nanti langit terbelah,

Aku Papua...



Sumber; http://www.sinarharapan.co.id