Friday, August 12, 2011

Pengerahan TNI Harus Ada Keputusan Politik

JAKARTA - Pengerahan pasukan TNI dalam memberantas gerakan separatis di Papua menuai banyak kecaman dari sejumlah pihak. Pengerahan pasukan yang dilakukan TNI menyalahi aturan karena tidak berdasarkan keputusan poltik dari DPR dan Presiden.

"(Pengerahan pasukan) itu tak pernah ada keputusan politik," kata Wakil Ketua Komisi 1 DPR Tubagus Hasanuddin dalam diskusi publik bertema "Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan Terhadap Penegakan HAM di Papua," di Jakarta, Selasa (9/8).

Menurut dia, Papua terus bergejolak semata-mata bukan karena gerakan separatis. Terdapat empat faktor yang menjadi pemicu, pertama, adanya sebuah kegiatan marjinalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat asli Papua. Kedua, adanya perbedaan persepsi historis yang sangat mencolok antara rakyat Papua dan banyak elite di Jakarta.

Ketiga, gagalnya pembangunan ekonomi di Papua. Dan keempat, adanya rasa traumatis yang berkepanjangan. Empat poin tadi terus tumbuh dan berkembang. "Keempat masalah itu tidak kunjung selesai sehingga melahirkan otonomi khusus (otsus), namun Otsus ternyata juga bermasalah," katanya.

Hasil audit BPKP pada 2010, ada sebanyak 4,21 triliun rupiah dana otsus hilang. Tidak jelas uang itu ke mana dan peruntukannya untuk apa. "Yang saya tahu, otsus itu hanya dinikmati oleh elite-elite," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Program Imparsial Al Araf melihat pemerintah kerap mengedepankan aparat militer untuk menyelesaikan konflik di Papua. "Sekuritisasi di Papua kerap dijadikan pendekatan untuk menyelesaikan konflik di Papua," kata Araf.

Dia memaparkan, kebijakan sekuritisasi dapat dilihat dari masih berjalannya operasi militer di Papua yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Puncak Jaya. Ada pula indikasi penumpukan dan penyimpangan anggaran APBN, APBD dan dana dari PT Freeport Indonesia dalam pelaksanaan operasi yang dilakukan TNI.

Perlindungan
Imparsial merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM di Papua dengan mempercepat reformasi tingkat keamanan, terutama reformasi TNI. Selain itu, pemerintah juga harus mengurangi jumlah aparat militer di Papua.

Saat ini, Imparsial memperkirakan terdapat sebanyak 14.842 pasukan TNI yang ada di Papua. Jika tak ada pengurangan, besar kemungkinan pada 2024 akan berlipat menjadi 32.000 pasukan. Jumlah pasukan militer sebanyak itu, menurut Araf, sama artinya melabeli Papua sebagai daerah darurat militer.

"Pemerintah harus mengedepankan pendekatan penegakan hukum dengan menempatkan polisi sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dengan tetap menghormati nilai HAM. Sekuritisasi tidak akan menyelesaikan konflik di tanah Papua," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti melihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dinilai lemah dalam mengawasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua.

"Saat ini otoritas pemantauan HAM yang dijalankan oleh Komnas HAM tidak berdaya, baik karena ketertutupan informasi maupun pemangkasan dan ketidakpedulian TNI terhadap rekomendasi yang diberikan Komnas HAM," kata Poengky.

Lemahnya kemauan dan keberanian Komnas HAM dalam menyikapi persoalan pelanggaran HAM di Papua juga menjadi faktor penghambat dalam mengawasi aktor keamanan, apalagi di dalam menyelidiki dan menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi.

Di tempat terpisah, sejumlah aktivis Barisan Merah Putih RI untuk Papua mendatangi Kementerian Pertahanan dan menjenguk korban penembakan akibat konflik Papua, di Rumah Sakit Prajurit Angkatan Darat (RSPAD).

Ketua Umum Barisan Merah Putih, Ramses Ohee, menyatakan pemerintah daerah Papua harus bertanggung jawab atas serentetan konflik yang terjadi di Papua. "Korban berjatuhan karena pelayanan pemda belum menyentuh kehidupan rakyat," ujarnya.

Ramses menyatakan, pemda harus bertanggung jawab agar rasa memiliki masyarakat Papua terhadap NKRI semakin berkembang. Elite pemda, tambahnya, harus menjadi orang nomor satu yang harus menyejahterakan masyarakat Papua. "Uang otsus harus bisa untuk menyejahterakan rakyat," katanya.

Sekjen Barisan Merah Putih, Yonas Nussy, menambahkan TNI justru tak bersalah dengan adanya konflik tersebut. TNI justru menjadi korban dalam konflik itu. "Kita justru perlu memberikan sentuhan dan kekuatan agar anggota TNI bisa terhibur dan bisa kembali bertugas seperti biasa," tambah. way/P-3
KORAN JAKARTA


Sumber; http://m.koran-jakarta.com