Saturday, August 6, 2011

Seminar Papua Barat di Oxford Hanya Media Provokasi

Liputan6.com, London: Puluhan orang mengikuti seminar tentang Papua Barat yang diadakan International Lawyers for West Papua (ILWP) di Universitas Oxford Inggris, Selasa siang (2/8). Dari 200 kapasitas gedung, yang hadir diperkirakan hanya 70 orang dan 15 diantaranya masyarakat Papua yang berada di Belanda.

Menanggapi penyelenggaraan konferensi bertajuk `West Papua: the Road to Freedom? ini, Kepala Fungsi Penerangan Sosial Budaya KBRI London, Herry Sudradjat mengatakan bahwa seminar itu hanya untuk media provokasi ke dalam negeri di Papua. Tujuannya adalah mengusung agenda pemisahan kedua propinsi di Papua dari Indonesia, dan bukan diskusi ilmiah terbuka.

Menurut Herry Sudradjat, para pembicara yang diundang pada konferensi tersebut dipilih secara selektif guna mengusung agenda separatisme di Papua ketimbang perdamaian dan kesejahteraan di Papua. Sedangkan tokoh-tokoh di Papua yang mempunyai pandangan berbeda, tidak di undang untuk berbicara di forum tersebut.

"Tokoh-tokoh seperti Franz Albert Joku dan Nick Messet di Papua yang jelas-jelas mempunyai perhatian yang besar terhadap kedamaian dan kesejahteraan masyarakat di Papua malahan tidak diberi kesempatan untuk bicara," ujar Herry Sudradjat.

Menurut Herry Sudradjat, dalam sebuah forum diskusi ilmiah, perbedaan pandangan dan dialog merupakan suatu hal yang biasa. Namun penyelenggara forum ini sepertinya tidak terbiasa dengan diskursus ilmiah, dan ingin menghindari pendapat yang berbeda dari agenda mereka.

Penyelenggaraan konferensi yang diusung oleh kelompok Free West Papua Campaign (FWPC) tersebut menghadirkan pembicara-pembicara seperti John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku "autonomy of betrayal", Benny Wenda pemimpin FWPC, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu serta beberapa pembicara lainnya. Sementara dari Propinsi Papua, mereka mengundang Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yomanuntuk yang berbicara melalui video conferrence.

Menurut salah seorang peserta, para pembicara konferensi yang diselenggarakan di East School of the Examination Schools tersebut umumnya menyampaikan pendapat yang senada, yaitu menggugat keabsahan penyelenggaraan Pepera yang dinilai tidak sah berdasarkan hukum internasional mengenai referendum. (ANT/mla)

Sumber; http://berita.liputan6.com