Thursday, August 11, 2011

Soal Papua, di Mana Komnas HAM?

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarty menilai, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia lemah dalam mengawasi kasus-kasus kekerasan di Papua. Menurut dia, saat ini otoritas pemantauan HAM yang dilakukan Komnas HAM tidak berdaya karena ketertutupan informasi dan ketidakpedulian TNI terhadap rekomendasi yang diberikan.

"Lemahnya kemauan dan keberanian Komnas HAM ini menjadi faktor penghambat dalam melakukan pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan, apalagi dalam melakukan pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan," ujar Poengky dalam acara peluncuran penelitian dan diskusi publik bertajuk "Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Penegakan HAM di Papua" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (9/8/2011).

Poengky menuturkan, pekan lalu, setidaknya ada tiga peristiwa kekerasan yang terjadi Papua. Peristiwa pertama terjadi pada Minggu, 31 Juli 2011, yaitu konflik perebutan dukungan resmi Partai Gerindra untuk kursi Kabupaten Puncak yang menewaskan 23 orang di Ilaga.

Kedua, penganiayaan dan pembunuhan sekolompok orang tak dikenal di tanjakan Nafri-Abepura pada Senin, 1 Agustus 2011, yang menewaskan 4 orang dan melukai sedikitnya 7 orang.

Terakhir adalah penyerangan pos TNI di Tingginambut pada 2 Agustus 2011 yang mengakibatkan tewasnya seorang prajurit TNI, diikuti dengan penembakan helikopter milik TNI yang mengevakuasi jenazah prajurit TNI tersebut.

Menurut Poengky, peristiwa tersebut menunjukkan masih banyaknya kasus kekerasan yang harus dicermati oleh Komnas HAM. "Dalam hal ini diperlukan juga penguatan otoritas sipil dalam mengendalikan dan memantau pelaksanaan kebijakan politik serta penguatan pengawasan publik untuk menjaga agar tidak terjadi hal serupa," katanya.

Lebih lanjut, Poengky menuturkan, otoritas sipil dalam hal tersebut seharusnya juga di bawah kendali Presiden ataupun pengawasan parlemen oleh DPR. Ia mengatakan, hal tersebut penting dilakukan mengingat selama ini politik keamanan dan tindakan pengamanan di Papua dilakukan sendiri oleh TNI.

"September tahun lalu, Presiden Yudhoyono pernah mengutus tiga menteri koordinator untuk mengevaluasi pelaksaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Tetapi, hingga kini tindak lanjut dari kebijakan itu belum terlihat hasilnya," ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Poengky, penguatan pengawasan publik dan otoritas sipil membutuhkan prasyarat keterbukaan informasi kepada publik di sektor keamanan dan keamanan.

Ia menilai, selama ini pengawasan yang dilakukan oleh Komnas HAM, parlemen, dan Presiden di Papua sering kali tidak ada kontrol dan lemah untuk mengawasi pergerakan atau operasi militer.

"Hal itu terjadi karena yang menjadi prioritas di Papua adalah keamanan karena anggapan masih adanya ancaman. Yang kita inginkan adalah pihak-pihak terkait dapat lebih baik mengawasi hal-hal semacam itu," katanya.

Sumber; http://regional.kompas.com