Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta untuk menghilangkan label separatisme terhadap warga Papua. Selain Papua memang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, label tersebut justru memicu penanganan yang keliru serta kekerasan berkelanjutan hingga sekarang ini.
Harapan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Indriaswati Dyah Saptaningrum dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani, di Jakarta, Rabu (10/8). Keduanya menanggapi situasi Papua yang terus dilanda kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, konflik, dan masalah pembangunan ekonomi. Semua masalah itu akan terus terulang pada masa-masa mendatang jika pemerintah tidak mengubah cara pandang terhadap Papua.
Jaleswari Pramodhawardani menilai, selama ini pemerintah memberlakukan Papua secara berbeda dibandingkan dengan provinsi lain. Pulau di ujung timur Nusantara itu selalu diberi label sebagai daerah yang berpotensi memunculkan gerakan separatisme atau makar. Pandangan bias ini melahirkan berbagai pendekatan keamanan.
Untuk memperbaiki kondisi itu, pemerintah diminta menghilangkan label separatisme dari Papua. ”Untuk menjaga ketertiban umum, sebagaimana daerah lain, biarkan kepolisian yang menangani. Janganlah sedikit- sedikit ada masalah harus mendatangkan militer,” katanya.
Indriaswati Dyah Saptaningrum berharap, pemerintah mau menunjukkan komitmen untuk menegakkan hukum dengan adil. Berbagai pelanggaran hak asasi manusia harus diadili sesuai ketentuan hukum. Jika ada warga sipil jadi korban dan ternyata tidak bersalah, mereka harus diberi perhatian kemanusiaan dan direhabilitasi dari tuduhan bersalah atau makar.
Pemerintah juga bisa memproses kasus-kasus lama yang mandek di Kejaksaan Agung, seperti kasus Wasior dan Wamena. ”Berbagai sarana hukum harus didorong untuk memberikan keadilan. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk membangun dialog yang konstruktif,” katanya.
Kesejahteraan
Secara terpisah, Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan perspektif perdamaian dalam pembangunan, penghormatan atas hak-hak asasi manusia, dan mengedepankan pendekatan kesejahteraan dalam menangani persoalan di Papua. Pemerintah juga berupaya tegas menindak pelanggaran hukum.
”Negara tidak bisa menoleransi kekerasan dalam masyarakat. Kekerasan di Papua bukanlah budaya manusia Papua yang sesungguhnya karena rakyat Papua adalah cinta damai,” kata Velix.
Menurut dia, kelompok penyerang yang diketahui sel dari kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka tersebut hanya ingin menunjukkan identitas politik mereka bahwa ideologi separatis masih hidup di sebagian masyarakat Papua. Pemerintah menyadari, upaya nation-building di Papua belum selesai.
”Proyek keindonesiaan merupakan tanggung jawab kolektif kita semua, tidak hanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun tanggung jawab penyelenggara negara lainnya di Tanah Air, baik MPR, DPR, DPD, MA, maupun MK,” kata Velix.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengatakan, persoalan Papua menjadi keprihatinan sekaligus tantangan seluruh bangsa Indonesia. Meski minoritas, NU di Papua siap membantu pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di Papua. (IAM/WHY)
Sumber; http://regional.kompas.com