Monday, August 22, 2011

TNI Lakukan Aksi Spionase di Papua?

WASHINGTON - Kelompok pemerhati HAM dunia Human Right Watch (HRW) mencerca aksi mata-mata yang dilaporkan dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia di Papua. Menurut HRW, hal tersebut adalah bentuk ketakutan TNI sendiri.

Laporan mengenai kegiatan mata-mata TNI di Papua ini dikabarkan melalui dokumen yang bocor ke sebuah media di Australia. Dalam dokumen setebal 500 halaman tersebut, jelas memperlihatkan laporan kegiatan pengawasan militer terhadap warga sipil di Papua.

Dokumen tertanggal dari 2006 hingga 2009 tersebut, mencakup laporan lengkap aktivitas mata-mata yang sebagian besar dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) bersama dengan Komando Militer Cendrawasih di Jayapura.

Kegiatan mata-mata ini ternyata bukan tidak dilakukan terhadap kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) saja. Melainkan juga dilakukan terhadap warga sipil seperti politikus, tokoh masyarakat, pemuka agama, para tokoh agama, warga pada umumnya bahkan pula dilakukan kepada pedagang dan warga miskin di Papua.

Pada dokumen rahasia yang dipublikasikan oleh The Age pekan lalu, terungkap bahwa Kopassus membayar sejumlah uang kepada beberapa informan, termasuk jurnalis, sopir taksi, birokrat, dan juga kepala suku.

Berdasarkan dokumen ini, The Age melaporkan bahwa Kopassus juga dituduh telah melakukan tindakan kekerasan terhadap warga Papua. Selain The Age, Sidney Morning Herald juga turut merilis dokumen serupa pada 13 Agustus lalu.

Berdasarkan dokumen bocoran intelijen yang berjumlah 19 itu, dikabarkan aktivitas mata-mata tersebut masih terus berlangsung hingga 2011 ini. HRW pun mengkritik keras kegiatan mata-mata ini.

"Dari dokumen yang diraih, menunjukkan betapa militer Indonesai (TNI) terlalu paranoid dengan kegiatan politik yang damai. Mereka menyamakan kegiatan politik tersebut dengan aktivitas kriminal," ucap Deputi Direktur Asia Human Right Watch Elaine Pearson, dalam keterangan pers yang dimuat dalam website lembaga ini, Senin (15/8/2011).

HRW menggaris bawahi laporan dari dokumen tertanda Agustus 2007 yang menyatakan, "Aktivitas politik yang terjadi di Papua saat ini lebih berbahaya, dibandingkan kegiatan OPM. Para politisi tersebut juga diketahui mendapatkan dukungan dari luar negeri. Di Jayapura dan kota lainnya, para politisi juga melakukan aktivitas politik seperti melakukan unjuk rasa, mengadakan konferensi pers dan melakukan pertemuan rahasia.”

Lembaga yang berbasis di New York ini memandang penting salah satu isi dari dokumen tersebut yang mengatakan, "Dalam upaya mereka untuk lepas dari Indonesia. Kelompok separatis ini melakukan kegiatan yang secara sengaja ditujukan untuk menekan pemerintah. Menyebarkan isu pelanggaran HAM di Papua, penculikan oleh aparat yang dimaksudkan agar pemerintah menarik pasukan militer dan polisi dari Papua, serta membuat klaim bahwa PBB ingin mendengar laporan mereka (separatis).”

"TNI mengklaim bahwa pelanggaran HAM di Papua adalah benih berlangsungnya separatisme. Pemikiran seperti itu amat berbahaya bagi kelangsungan hidup para aktivis di Papua," lanjut Pearson.

Lebih lanjut HRW menuduh kegiatan mata-mata TNI di Papua makin terus giat dilakukan di Pupua dan di beberapa wilayah lainnya di Indonesia.

Hal ini menurut HRW terkait dengan penerapan RUU Intelijen. Pada RUU yang dipublikasikan December 2010 lalu, memberikan peluang besar kepada Badan Intelijen Nasional (BIN) bertindak sendiri untuk melakukan langkah, pencegahan, penghalangan dan penanggulangan ancaman yang dapat mengganggu kestabilan negara.

Berdasarkan dokumen yang bocor tersebut, aturan baru ini dapat memungkinan pihak intelijen dan pihak keamanan dapat melakukan kegiatan mata-mata di wilayah yang kegiatan aktivitas separatisnya naik-turun. Kegiatan mata-mata itu dapat terus berlangsung di Aceh, Maluku dan Papua.

TNI pun membantah laporan yang dikeluarkan oleh HRW dan media-media Australia tersebut. Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana muda Iskandar Sitompul menegaskan, "TNI tidak pernah mengeluarkan hal-hal seperti itu (dokumen).”

"Semua yang beredar di The Age atau Sidney Morning Herald atau yang lainnya, harus dibuktikan kebenarannya," ungkap Laksamana Sitompul melalui sambungan telepon kepada okezone, di Jakarta, Senin (15/8/2011).

Sitompul menambahkan, TNI saat ini terus melakukan kegiatan kemasyarakatan di Papua seperti membangun gereja, Honai (rumah Papua) dan semuanya diterima dengan tangan terbuka oleh warga Papua. "Mungkin ada pihak-pihak yang tidak menyukai kalau TNI dekat dengan warga Papua," ucapnya.

Pada akhirnya, Laksamana Sitompul menegaskan bahwa Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baginya Papua harus dipertahankan di NKRI. (ful)

Sumber; http://news.okezone.com