Friday, April 30, 2010

Menaklukkan Carstensz, Luar Biasa!

Wartawan Kompas Harry Susilo membentangkan Merah Putih ketika berhasil mencapai Carstensz Pyramid atau Ndugu-Ndugu, Papua, Sabtu (24/4/2010). Ilo tergabung dalam Tim Bravo yang ikut mendaki Carstensz Pyramid. Selanjutnya, Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia akan mendaki enam puncak tertinggi dunia lainnya sampai tahun 2012.

KOMPAS.com — Tak banyak orang yang beruntung bisa menaklukkan Puncak Carstensz Pyramid di Pegunungan Jayawijaya, Papua, salah satu puncak tertinggi di dunia yang menjualang sampai 4.884 meter. Wartawan Kompas, Harry Susilo (Ilo), adalah salah satu yang berkesan dengan hal itu karena menyertai perjalanan Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari Wanadri.

"Menurut saya, semangat tim luar biasa. Sempat beberapa kali cuaca buruk, tetapi tim bisa dua kali mencapai puncak. Luar biasa," ujar Ilo.

Dua tim ikut dalam ekspedisi tersebut. Tim Alfa mencapai puncak pada 18 April 2010 dan Tim Bravo mencapai puncak tanggal 26 April 2010.

Tidak mudah untuk bisa mencapai puncak. Ilo menceritakan, kendala fisik dan lingkungan harus dihadapi. Selama sepuluh hari membangun tenda di Pegunungan Jayawijaya, beberapa kali tim ekspedisi didera hujan es. Alhasil, upaya untuk menaklukkan puncak beberapa kali batal. Namun, berkat kesabaran dan perhitungan matang, toh, mereka bisa melakukannya.

Proses aklimatisasi atau penyesuaian tubuh terhadap perubahan tekanan dan suhu di ketinggian juga bukan hal sepele. Setiap anggota tim rupanya memiliki daya tahan berbeda sehingga harus menentukan sendiri batas kemampuannya. Bolak-balik naik turun kudu dilakoni demi melatih tubuh sebelum menuju puncak.

"Tim Alfa saja perlu sepuluh hari proses aklimatisasi. Berangkat tanggal 8, tetapi baru sampai puncak tanggal 18," kata Ilo.

Tim Bravo menyusul delapan hari kemudian seusai perayaan Hari Bumi yang monumental di lidah es Jayawijaya. Menurut Ilo, konon luas lapisan es di sana menyusut seiring waktu. Diduga karena pemanasan global.

Buang hajat

Pengalaman lain yang tak terlupakan, menurut Ilo, adalah bagaimana bertahan sepuluh hari di ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut itu. Tidur sudah ada tenda berikut selimut dan sleeping bag hangat. Makan pun tersedia dengan bekal makanan yang cukup. Namun, bagaimana dengan urusan pribadi macam buang hajat?

"Kami menyiasatinya, kalau buang air kecil, cari tempat yang tersembunyi, seperti di dekat tebing bebatuan. Kalau buang air besar, kami harus gali tanah dan menguruknya kembali agar tidak bau. Secara alami kan organik, jadi enggak apa-apa. Tapi, harus cari tempat yang jauh dari aliran air," kata Ilo.

Selama di atas, Ilo mengaku tak terlalu terkendala dengan kebiasaan baru tersebut yang harus dilakoni. Bahkan, dia hitung setidaknya empat kali melakukan hajat besar di sekitar Lembah Danau-Danau yang menjadi lokasi menginap.

Tisu basah pun menjadi andalan untuk bebersih dan sampahnya dikumpulkan bersama sampah lainnya. Sebagian dibawa turun, sebagian lagi dimusnahkan.

Kebutuhan air melimpah di sekitar Puncak Carstensz karena di sana banyak danau yang berasal dari lelehan es gletser. Ilo mengaku penasaran dengan air gletser dan mencoba mandi sekali meski harus menahan dingin yang menusuk tulang. Namun, kapan lagi bisa mandi di ketinggian 4.700 meter, bukan?

Buat Ilo, Cartstensz merupakan puncak tertinggi yang pernah dijangkaunya. Sebelumnya dia memang hobi memanjat gunung dan paling tinggi baru Rinjani yang tingginya 3.726 meter di atas permukaan laut.

Gunung-gunung besar di Jawa sebagian besar pun sudah ditaklukkan. Kini dia berharap bisa kembali bergabung dengan Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia untuk menaklukkan puncak kedua, Kilimanjaro, Afrika.