JAKARTA - Pemerintah maupun lembaga swasta tidak ada yang mendistribusikan bantuan dan menyediakan layanan kesehatan untuk para pengungsi di Kota Mulia, Distrik Ilu dan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, serta Distrik Tiom dan Kuyawage, Kabupaten Lani Jaya, Papua. Para pengungsi itu merasa ketakutan, sehingga banyak yang pindah lokasi pengungsian.
Para pengungsi itu adalah masyarakat dari wilayah Tinggi Nambut, terutama perempuan dan anak-anak, yang merasa ketakutan pascakontak senjata 12 Juli 2011 antara TNI dan Tentara Papua Merdeka/Organisasi Papua Merdeka (TPM/OPM).
Mereka awalnya mengungsi ke Distrik Ilaga, tapi setelah terjadi bentrok warga di Ilaga pada 30 Juli 2011, mereka terpaksa pindah mengungsi ke hutan hingga kini. Demikian rilis “Memburuknya Perlindungan dan Jaminan Rasa Aman dari Kekerasan bagi Masyarakat Papua” dari Komnas Perempuan yang diterima SH, Kamis (4/8).
Dijelaskan pula, Komnas Perempuan mendapat kesaksian dari sejumlah perempuan yang menjadi sasaran kekerasan termasuk kekerasan seksual oleh aparat keamanan pada saat penyerangan di Kabupaten Puncak Jaya. Tindak kekerasan itu dilakukan karena para wanita itu dianggap mempunyai hubungan dengan anggota TPM/OPM.
Dalam rangkaian pengejaran TNI terhadap aktivis TPM/OPM pimpinan Goliath Tabuni yang diduga berada di wilayah Puncak Jaya pada 12 Juli 2011, seorang ibu dan tiga anaknya yang masih balita tertembak bersama lima prajurit TNI Yonif 753 AVT Nabire di Distrik Tinggi Nambut.
Selain itu, telah terjadi penyisiran dan penyerangan oleh aparat TNI terhadap masyarakat di Distrik Yambi, Kabupaten Puncak Jaya pada 21 Maret 2010 dalam menyikapi aksi masyarakat yang mempertanyakan tewasnya seorang warga kampung. Aparat keamanan juga membakar honai, babi peliharaan, tanaman, gedung gereja, dan rumah tokoh agama yang dijadikan tempat pengungsian.
Berangkat dari fakta-fakta tersebut, Komnas Perempuan menilai masih berlangsungnya kekerasan di Papua dan eskalasi yang terus meningkat sebagai akibat dari tidak adanya upaya serius pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di Papua, serta lemahnya upaya pemerintah menjamin keamanan dan perlindungan bagi masyarakat sipil, terutama perempuan dan anak.
Minim bahkan hilangnya rasa aman di kalangan masyarakat sipil Papua, khususnya perempuan dan anak, tidak hanya terkait konteks kekerasan yang sedang terjadi, namun sangat terkait dengan seluruh kebijakan keamanan di Papua yang lebih mengedepankan pendekatan teritorial security daripada human security.
Kasus kekerasan lainnya yang ditemukan Komnas Perempuan adalah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilakukan aparat keamanan dan kepolisian yang terjadi di wilayah perbatasan, wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang besar, dan di tempat tahanan kepolisian.
Untuk itu, demi memastikan hak konstitusional warga Papua, Komnas Perempuan mendesak pemerintah pusat dan daerah memastikan adanya perlindungan menyeluruh tanpa syarat bagi masyarakat sipil, khususnya perempuan dan anak, serta segera menyediakan kebutuhan dasar dan pemulihan korban.
TNI dan Polri diminta membangun kebijakan keamanan yang lebih fokus pada pendekatan human security, dan menjatuhkan sanksi tegas pada aparat yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil.
Sementara Komnas HAM diminta melakukan investigasi lanjutan ke daerah rawan konflik untuk memantau kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM. Kepada masyarakat sipil, diimbau tidak terprovokasi pihak yang sengaja menyebarluaskan ketakutan dan kebencian. (CR-24)Sumber; http://www.sinarharapan.co.id