JAKARTA - Lengkap dengan hias corak garis putih simetris pada wajah dan tubuhnya, tiga pemusik Papua berpakaian rok rumbai-rumbai tampak memutari panggung.
Mereka mencari asal suara biola yang dibunyikan diam-diam oleh Hendri Lamiri. Masing-masing memegang alat musik yang berbeda, tifa, dijerido, dan fu. Sambil mencari, sesekali mereka memainkannya.
Malam itu, ketiga orang berpakaian khas Papua tersebut ikut meramaikan pertunjukan yang dilakukan Malacca Ensemble di Teater Salihara, Jakarta. Sambil membunyikan alat musik yang dibawa, mereka kadang asyik menari mengikuti irama lagu berjudul “Melayu Funk”.
“Tambahan tarian dan musik Papua itu sebenarnya baru kami mainkan sehari sebelum pertunjukan ini,” ujar pemain perkusi, Yaser Arafat, Jumat (5/8).
Kehadiran para pemusik Papua bukan hanya penghias panggung belaka. Pada pementasan kali ini, Malacca Ensemble yang akrab dengan eksplorasi musik tradisi itu memang sengaja memilih musik Papua dan Melayu untuk dipadukan dengan komposisi yang lebih populer dan modern.
Oleh karena itu, warna musik yang dibawakan berbau musik etnik Nusantara yang bercampur dengan sentuhan musik fusion. Nuansa etnik itu sebenarnya sudah berusaha diperdengarkan pada lagu pertama ketika mereka mengaransemen lagu “Seroja” dalam bentuk yang berbeda.
Hanya saja pada suguhan lagu pembuka itu, entah disengaja atau tidak, permainan kendang Yaser nyaris tak terdengar dari bangku penonton. Beruntung nuansa etnik sesekali masih terbantu lewat gesekan biola Hendri dan akordion dari Butong Olala.
Bentuk serupa juga mereka perdengarkan ketika lagu kedua yang berjudul “Warung Pojok” dimainkan. Aksi panggung kian terasa ketika Fariz RM, yang menjadi bintang tamu malam itu, mulai memainkan dua lagunya "Barcelona" dan "Sakura" secara medley.
Pada fase ini, berangsur-angsur nuansa etnik Melayu dan Papua mengental. Terlebih ketika para pemusik papua yang memainkan alat musik tifa, dijerido, dan fu (alat musik tiup yang terbuat dari kerang) turut meramaikan panggung.
Nuansa etnik juga terasa lewat ketukan djembe yang dipukul Yaser dan akordion dari Butong Olala.
“Pada lagu itu, kami memang sengaja memasukkan dua unsur musik Papua dan Melayu,” jelas Yaser. Unsur Melayu kembali terasa ketika lagu “Hang Tuah” dimainkan secara duet oleh Hendri dan Faisal yang memainkan gitar akustik. Sesuai judulnya, lagu ini mengisahkan tentang Hang Tuah, kesatria Melayu, yang jasadnya tidak pernah ditemukan.
Walau sedang mengeksplorasi musik Melayu dan Papua, Malacca Ensemble juga memainkan “Angin Mamiri” dari ranah Sulawesi. Persis setelahnya, Hendri memperdengarkan lagu “Galaksi” yang diciptakan karena terinspirasi dari masa kecilnya. “Karena pelajaran tentang bintang saat saya masih duduk di kelas enam SD,” ujar Hendri. Kedua lagu itu begitu terasa sentuhan musik jaz fusion.
Kematangan bermusik juga membuat para personel tidak perlu berlama-lama memikat penonton. Kadang kala, masing-masing dari mereka mempertunjukkan kebolehannya bermusik. Terutama ketika lagu “Melayu Funk” dimainkan pada akhir pementasan.
Selain Hendri, Yaser, Butong, dan Faisal, kelompok musik yang didirikan pada 2007 itu juga beranggotakan Indro Hardjodikoro dan Adi Darmawan pada bas, Rio Zee Rinaldo pada keyboard, Demas Narawangsa dan Jantan pada drum, serta Hendri Chaniago pada dijerido. Hanya saja, saat pertunjukan di Teater Salihara mereka bermain tanpa kehadiran Indro dan Demas.
Kelompok ini memang dihadirkan dengan tujuan melestarikan musik tradisi yang diangkat dengan gaya yang lebih kontemporer. Mereka juga merangkul beragam jenis musik dan bebunyian lain di dunia, antara lain dari Cina, Arab, Eropa Timur, dan India.
Mereka sempat bermain di beberapa event mancanegara. “Kali ini kami memilih Melayu dan Papua, karena pada dasarnya Indonesia itu dikenal sebagai bangsa Melayu,” kata Yaser. Malacca Ensemble, menurutnya, berencana tampil di benua Afrika. (CR-16)Sumber; http://www.sinarharapan.co.id