Tuesday, August 9, 2011

Keadilan Bagi Papua

KBR68H - Ketegangan meningkat di Bumi Cendrawasih. Ada konflik antar pendukung calon bupati yang berakibat hilangnya belasan nyawa di Puncak Jaya. Ada penembakan yang menewaskan 4 warga di Jayapura. Sementara di London, orang berdemonstrasi meminta referendum untuk Papua. Referendum yang diadakan PBB tahun 60-an, dianggap tidak sah oleh sebagian orang Papua. Wilayah ini memang sedang, dan akan menjadi daerah panas, di negeri kita.

Sejak reformasi, Indonesia mengintroduksi status otonomi khusus buat Papua. Dengan itu, aliran dana otonomi mencapai trilyunan rupiah per tahun. Pajak-pajak pertambangan juga banyak dinikmati Papua, ketimbang Jakarta. Semangat otonomi khusus itu mendorong munculnya pimpinan lokal di Papua. Seluruh kabupaten sekarang dipimpin oleh bupati asli Papua yang dipilih lewat pemilihan langsung. Papua juga memperoleh Gubernur yang putra daerah. Mobilitas vertikal terjadi sangat nyata di kalangan elit Papua.

Tetapi tak serta merta, masyarakat menjadi lebih sejahtera. Papua tetaplah daerah dengan prosentasi buta huruf sangat tinggi. Tingkat prevalensi HIV/AIDs paling tinggi ada di Wamena, Timika dan tempat terpencil lain, dimana layanan kesehatan sangat minimal. Penyakit desentri saja bisa merenggut nyawa, dan mewabah di Paniai. Kegagalan panen ubi bisa memunculkan kelaparan dan orang mati di Yahukimo. Ketahanan pangan tergolong sangat rapuh di Papua.

Kampung-kampung yang terisolir, layanan kesehatan dan pendidikan sangat minimal. Bahkan di berbagai tempat sama sekali tak ada. Itulah wajah Papua. Empat puluh tahun lebih, setelah referendum dan Papua menjadi bagian dari Indonesia, sentuhan kesejahteraan masih sangat jauh.

Politik pembangunan kita, masih terus menyingkirkan warga adat, yang notabene merupakan mayoritas masyarakat Papua. Hak-hak adat, tanah ulayat, digilas oleh hukum positif yang mengaku tanah sebagai milik negara. Dan, negara kemudian memberikan tanah itu kepada para pengusaha yang memintanya. Rakyat Papua dipinggirkan begitu saja dalam proses pembangunan ini. Tanah mereka direbut oleh negara, dan diberikan kepada orang lain yang kemudian mengusir mereka.

Proyek raksasa untuk membangun kebun pangan dan energi di Merauke adalah contoh terbaru tentang politik kolonial itu. Suku Sangase merasa 30 ribu hektar tanah mereka dicaplok PT Medco. Dan mereka tidak sendirian. Suku-suku lain mengalami tragedi yang sama. Ratusan ribu hektar area untuk proyek raksasa itu, didirikan bukan di atas hutan tak bertuan. Suku-suku sudah bergenerasi hidup di sana. Sekarang mereka terusir tanpa jaminan. Tanpa disertakan dalam proyek raksasa itu.

Kalau begini cara pemerintah membangun Papua, bisa diduga ketegangan tak akan pernah absen disana.

Sumber; http://www.kbr68h.com