Tuesday, August 9, 2011

Perempuan Pendobrak dari Pedalaman Papua

KBR68H- Melalui siaran radio, Kathe Vince Dimara memanggil guru-guru yang meninggalkan tugas agar kembali mengajar di sekolah-sekolah di Yahukimo, Papua. Perjuangannya tak sia-sia, sekolah-sekolah kembali aktif. Lewat program radio pula, Kathe mendatangi para perempuan agar mereka tak lagi membiarkan suami-suami memukul mereka. Inilah kisah Kathe Vince Dimara, peraih SK Trimurti Award, pimpinan Radio Pikon Ane, Yahukimo, Papua. Disampaikan oleh Arin Swandari.

Berjuang Untuk Warga Pedalaman

“Ia hidup di daerah ujung timur sana, daerah itu penuh dengan lorong-lorong patriaki, kemudian secara tradisi ekonomi sangat miskin, kesehatan sangat buruk, pendidikannya sangat rendah, dan jejak-jejak SK Trimurti sudah dilakukan kawan kami, yang hadir di sini Kathe Vince Dimara.”

Dewan Juri SK Trimurti Award, Masruchah sedang memberikan sambutan di Gedung Galeri Nasional Jakarta pada pertengahan Juli 2011. Perempuan yang namanya baru saja disebut, Kathe Vince Dimara, tersipu malu. Ia tak menyangka mendapat anugerah SK Trimurti Award yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen. Ini adalah penghargaan untuk jurnalis atau aktivis perempuan yang berjuang untuk kesetaraan gender, pemberdayaan masyarakat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers. Sesuai dengan perjuangan wartawan tiga jaman, SK Trimurti.

Kathe memimpin radio komunitas Pikon Ane, di pegunungan Anyelma, Distrik Kurima, Yahukimo Papua. Jurnalis, Hermien Y. Kleden, yang juga menjadi juri, mengatakan Kathe membuat terobosan yang tak banyak dilakukan orang untuk memajukan radionya.

“Dia melatih orang-orang mabuk, membangunkan mereka untuk belajar siaran. Dia ajarin anak buahnya yang tadi mabuk itu. Menurut saya luar biasa, kemampuan dia membuat terobosan manajerial sesuatu yang tak banyak dilakukan wartawan kita, organisasi, financial dia mencari duit juga, dia mendekati tokoh-tokoh adat untuk mendukung radio komunitas yang bisa menggerakan ekonomi Yahukimo dan daerah sekitarnya.”

Lewat program radio, Kathe menyadarkan para perempuan akan hak-haknya. Ia bukan saja berkampanye tentang kesetaraan perempuan, tapi ia mendatangi para istri ke rumah-rumah dan mengajak mereka berkumpul.

“Karena di sana poligaminya masih sangat tinggi. Tradisi di sana perempuan hanya dijadikan budak oleh laki-laki, semua kebutuhan keluarga dipenuhi perempuan. Radio itu dijadikan tempat berkumpul, sambil berkumpul saya beri pemahaman, sambil berceritalah, dengan ibu-ibu yang ada. Ini mendapat tanggapan positif, karena mereka tadinya tidak berani melapor kalau habis dipukul oleh suami. Sekarang mereka berani melapor ke yang berwajib dan dengan sendirinya mengatakan saya habis disiksa saya habis dipukul sama suami”, kata Kathe.

Lewat radio pula, Kathe berhasil menghidupkan ekonomi warga setempat, terutama para petani. Ia membantu para petani berorganisasi. Usman Wetipo adalah salah satu ketua kelompok tani setempat.

“Waktu tidak ada radio hasilnya selau rugi, harga petani tidak untung. Setelah ada siaran radio kita bentuk kelompok dan dibuat jadwal, bawa wortel sesuai jadwal. Misalnya hari ini, senin, gereja ini bawa, selasa ini-ini bawa. Kalau ada pelanggaran jadwal disuruh bayar denda.”

Menjadi Jurnalis sekaligus aktivis pemberdayaan masyarakat di pegunungan Papua, berarti harus siap berjalan kaki, mendaki bukit, menyusuri sungai dan hutan dalam bertugas. Kathe melakukannya setiap hari.

Sukses Peran Radio Komunitas

Pada 2007, Radio Pikon Ane berdiri di pegunungan Anyelma di Kurima. Ribuan warga Yahukimo, Gubernur Papua, Menteri Pemberdayaan Daerah Tertinggal, dan puluhan pejabat menyaksikan peresmian radio itu.

Radio Pikon Ane

Radio Pikon Ane

Sejak itu setiap hari Kathe harus berjalan kaki sekitar dua jam dari rumah ke tempat kerja. Jalan menanjak dan menurun, melewati hutan. Kadang kala, ia pulang tengah malam. Saat liputan, medan yang harus ditempuh lebih berat lagi. Tak jarang Kathe harus bertaruh nyawa.

“Saya liputan dari Wamena, dan kondisi sungainya banjir, saya pulang liputan tergelincir. Saya hampir tiga bulan sakit karena kaki kiri saya tergelincir, retak dan harus opname tiga bulan menunggu pemulihan. Saya liputan, pelanggaran HAM di Jayawijaya tentang mahasiswa yang menuntut hak mereka, itu liputan yang harus jatuh di sungai.”

Tahun lalu Kathe meliput tentang sekolah-sekolah yang ditutup di sejumlah kampung. Diantaranya Kampung Wuklik dan Kampung Wanem yang ada di distrik lain. Ia melintasi dua distrik. Lagi-lagi dengan berjalan kaki.

“Saya harus melewat dari Kurima ke distrik Dogi, dengan geografi yang buruk dan jalan menanjak terus. Jujur walaupun saya lahir di sana, saya tidak pernah tidur di Honai. Untuk liputan itu saya harus menginap di Honai. Butuh waktu empat hari. Saya punya keprihatinan sendiri kenapa anak-anak sekolah tidak bisa sekolah hanya bisa bermain, itu jadi motivasi sendiri buat saya. “

Liputan tentang sekolah yang ditutup ini, berbuah manis. Kathe berhasil mengembalikan sekolah itu untuk anak-anak Yahukimo, termasuk di SD Inpres Anyelma. Dinas Pendidikan membuat iklan layanan masyarakat berupa berita panggilan agar para guru kembali mengajar.

“Habis itu kan pernah dibahas di kabar tanah papua KBR68H, habis liputan itu saya bersyukur, karena Dinas Pendidikan mengirimkan badan pengawasnya ke sana untuk mengecek sekolah itu. Akhirnya sekolah itu dibuka dan berjalan seperti biasa. Saya sangat berterima kasih, karena ada tanggapan yang baik dari Dinas Pendidikan.”

Bukan hanya SD Anyelma yang ditinggalkan guru-gurunya. Sejumlah SD lain di Yahukimo mengalami nasib serupa. Para orang tua dari murid-murid di sekolah-sekolah itu datang ke radio Pikon Ane.

“Dan ini sangat menyentuh hati masyarakat yang ada di Distrik Angruk. Mereka harus jalan kaki tiga sampai empat hari, hanya untuk datang ke Pikon Ane minta tolong dibuat berita panggilan agar guru-guru di sana juga datang kembali ke tempat tugas.”

Tidak mudah mengelola radio di tempat minim sarana prasarana, masyarakat sangat miskin, dan belum mendapat pendidikan formal. Suatu saat di Kampung Anyelma, banyak orang meninggal. Masyarakat menganggap ini terkait penggunaan air untuk pembangunan pembangkit Listrik mikrohidro. Listrik pun dimatikan warga kampung. Radio Pikon Ane tak bisa bersiaran.

“Saya memakai pendekatan ancaman. Saya bilang kalau dalam 1-2 bulan lampu tidak dinyalakan, jangan pernah menyesal kalau radio ini dipindahkan ke tempat lain. Dan semua saat itu menyalahkan, wah radio ini sudah ramai dikunjungi orang. Kalau sampai dipindahkan ke tempat lain, kita mau jadi apa. Makanya saya bilang ya terserah mau jadi apa. Kalau mau terus di sini ya harus nyalakan ini listrik.”

Kathe masih menyimpan cita-cita besar bersama radio Pikon Ane di Kurima, Yahukimo bersama jurnalis muda yang kini tengah dibimbingnya.

“Masih, karena saya masih punya cita-cita yang belum terpenuhi, saya ingin radio ini jadi radio yang besar, yang bisa memberi lapangan pekerjaan bagi anak-anak putra asli yang ada di sana. Mengingat selama ini anak-anak di sana hanya tamat SMA yang tidak bisa melanjutkan karena ekonomi, saya ingin radio itu jadi lapangan pekerjaan buat mereka. Mereka sekarang mampu, saya bersyukur, dari 8 anak yang saya bina dua diantaranya sudah bisa jadi penyiar dan jadi penulis.”


Sumber; http://www.kbr68h.com