Tuesday, August 9, 2011

Pemekaran Wilayah, Pemekaran Korupsi

Penulis : Darwis SN*

Pemerintah pusat menegaskan akan menghentikan program pemekaran daerah, mengingat hingga kini alokasi APBD hampir seluruhnya digunakan untuk belanja pegawai. Sementara itu, alokasi untuk belanja modal sangat sedikit, yakni hanya sekitar 10 persen. Berdasarkan temuan Asia Foundation, sebelum ada pemekaran daerah, 65 persen dana APBD habis dibelanjakan untuk gaji dan tunjangan para pegawai. Jumlah tersebut kini membengkak mendekati 95 persen.

Saat ini pembangunan menyangkut infrastruktur di daerah menjadi sangat lemah sekali. Ada ketergantungan pada BUMN dan pemerintah pusat yang sangat tinggi. Dana APBD untuk pelayanan publik semakin kecil karena habis untuk servis aparat. Hal ini menunjukkan gejala yang tidak sehat dan perlu diperbaiki.

Temuan ini menjadi upaya penting untuk kinerja otoritas daerah. Kalau dari sisi fiskal sudah seperti itu, peluang untuk membangun akan sulit. Pelayanan publik juga akan sulit dibangun. Temuan tersebut menjadi alasan pemerintah untuk menyetop pemekaran daerah yang saat ini usulannya banyak diajukan ke pemerintah pusat.

Moratorium (penghentian sementara) pemekaran ini dinilai penting, karena terkait desain besar yang ada, sehingga suatu provinsi harus melakukan survei yang baik sebelum memutuskan memekarkan suatu kabupaten/kota. Euforia pemekaran wilayah memang harus dihentikan. Kebijakan pemekaran wilayah telah gagal merealisasikan misi utamanya, yakni menyejahterakan rakyat. Pemekaran wilayah hanya sukses menggerus anggaran pusat ke daerah yang kebanyakan habis untuk membiayai birokrasi dan menggendutkan koruptor di daerah.

Sambil menanti janji evaluasi yang akan dilakukan pemerintah, saat ini menjadi penting untuk memfokuskan energi dan perhatian pada perbaikan wilayah pemekaran yang masih punya potensi untuk diperbaiki, serta menggabungkan kembali daerah otonom baru yang gagal ke wilayah induknya. Di sini dibutuhkan sebuah terobosan yang berani agar pemekaran wilayah tak menjadi proyek memperkaya segelintir elite dengan menguras anggaran negara.

Sudah cukup banyak evaluasi yang secara gamblang menggambarkan kegagalan ini. Evaluasi terakhir datang dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang mengatakan bahwa kinerja wilayah pemekaran baru paling buruk dibandingkan wilayah yang tidak dimekarkan dari wilayah induk. Hal ini terutama ditinjau dari sudut tata kelola pemerintahan. Pemekaran wilayah belum mampu mewujudkan kemandirian anggaran, tetapi semakin membebani anggaran pemerintah pusat melalui alokasi transfer dana ke daerah yang terus membesar dari tahun ke tahun.

Padahal, konsep awal pemekaran wilayah adalah tidak menambah belanja APBN karena anggaran wilayah pemekaran diambil dari alokasi anggaran wilayah induk. Namun, dengan terbitnya UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah yang menetapkan adanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), alokasi dana pusat ke daerah terus meningkat. Seiring dengan itu, alokasi dana pusat ke daerah pemekaran naik lima kali lipat. Sementara itu, dana untuk daerah nonpemekaran hanya naik dua kali lipat.

Sayangnya, peningkatan anggaran tersebut tidak berbanding lurus dengan peningkatan kinerja pemerintah dan pencapaian sasaran pembangunan. Alokasi dana dari pusat banyak disedot untuk pengeluaran rutin berupa gaji PNS di instansi-instansi pemerintah yang baru dibentuk, pembangunan gedung dan sarana pemerintahan, pengadaan fasilitas bagi para pejabat pemerintah daerah pemekaran, serta biaya perjalanan dinas.

Konsekuensinya, anggaran untuk pembangunan mengecil. Dampak lebih jauhnya, tujuan awal pemekaran wilayah untuk memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah terabaikan, karena porsi terbesar anggaran disedot untuk pengeluaran rutin pemda. Kerap kali, pemekaran hanya untuk memenuhi syahwat kekuasaan segelintir elite di daerah. Mereka sukses mewujudkan ambisinya melalui lobi-lobi ke DPR maupun pemerintah, sehingga syarat-syarat kelayakan bisa diterobos dengan segepok uang pelicin.

Kita tak antipemekaran, tetapi pemekaran harus dikembalikan ke jalur yang sebenarnya. Harus ada rancangan yang sistematis, ilmiah, dan masuk akal terkait pemekaran, agar tujuan utama pemekaran untuk kesejahteraan rakyat bisa tercapai.

Membengkak

Tercatat sejak kebijakan pemekaran wilayah dilaksanakan seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, lebih dari sepuluh tahun lalu, telah lahir tujuh provinsi dan 205 kabupaten/kota baru. Bila tidak ada upaya pengereman, bisa dipastikan jumlah itu akan terus membengkak.

Semua ini harus dihentikan. Sudah saatnya pemerintah berhenti mengeluhkan kegagalan pemekaran. Harus ada langkah aksi yang jelas dan tegas untuk menghentikan dan memperbaiki persoalan ini. Pemerintah harus satu visi dalam memandang pemekaran wilayah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus tegas menyikapi ini, agar tujuan pemekaran wilayah menjadi jelas dan transparan. Hasil menyeluruh terhadap evaluasi pemekaran wilayah harus segera diumumkan. Pemerintah harus berani menerapkan amanat PP 78/2007 tentang Pemekaran Wilayah, yang tegas menyebutkan “bila terbukti gagal berkembang, daerah hasil pemekaran harus dihapuskan dan digabungkan kembali ke wilayah induk.” Pemerintah harus menerapkan aturan ini secara konsekuen agar pemekaran wilayah tidak terus-menerus menggerogoti keuangan negara.

Jangan sampai pemekaran wilayah identik dengan pemekaran korupsi, pemekaran kemiskinan, pemekaran kebodohan, dan pemekaran pengangguran. Oleh karena itu, sambil terus melakukan pembenahan, kebijakan menghentikan pemekaran wilayah merupakan sebuah keharusan agar cita-cita mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat melalui pembentukan daerah otonom baru bisa tercapai. UU 32/2004 sedang memasuki tahap revisi. Semoga UU hasil revisi ini nantinya lebih ketat dalam menentukan syarat pemekaran wilayah.

*Penulis adalah alumnus University of Adelaide Australia.


Sumber; http://www.sinarharapan.co.id