Tuesday, August 9, 2011

MRP dan Papua yang Damai

Penulis : Diaz Gwijangge

Berbagai gejolak sosial kemasyarakatan yang kerap terjadi di seantero wilayah tanah Papua terkait erat dengan ketertinggalan di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan aspek-aspek pembangunan lainnya.

Kondisi ini menuntut pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan masyarakat Papua melihat kembali posisi Majelis Rakyat Papua (MRP), menyusul pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.

MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua. Lembaga ini memiliki wewenang tertentu dalam rangka melindungi hak-hak orang asli Papua berdasarkan penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

MRP beranggotakan orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, agama, dan perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota. Tugas dan wewenang MRP antara lain memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan DPRP. Berikut juga calon anggota MPR utusan daerah Papua yang diusulkan DPRP.

Sejarah

Kehadiran MRP memiliki sejarah panjang. Pada 31 Oktober 2005, masyarakat Papua menyambut kehadiran MRP. Saat itu, Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'aruf melantik 42 anggota MRP.

Mereka mewakili unsur perempuan 14 orang, unsur adat 14 orang, dan kalangan agama 14 orang. Saat itu ditentukan tiga pemimpin masing-masing, yaitu Alexander Wosparik, Mientje Rumbiak (wakil perempuan), dan Pdt Hofni Simbiak (unsur agama)

Keberadaan MRP menjadi sangat vital dalam konteks otonomi khusus bagi Papua. Lembaga ini menjadi sentral karena memiliki kewenangan memberikan rekomendasi kepada seseorang untuk menjadi pemimpin daerah.

Dalam buku Memberdayakan Orang Papua terbitan Suara Perempuan Papua dan Institut Arus Informasi tahun 2006, ada empat hal yang menjadi substansi MRP. Pertama, MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua.

Kedua, MRP memiliki kewenangan tertentu, sehingga diharapkan dapat melakukan perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua. Ketiga, MRP harus terdiri dari wakil adat, agama, dan perempuan. Keempat, MRP harus diisi oleh orang asli Papua (hlm. 196).

Oleh karena itu, terbentuknya MRP patut disyukuri, mengingat kendala yang mengadang pembentukannya amat mendasar dan menuntut jiwa besar bagi semua pihak agar lembaga itu dapat dibentuk.

Salah satu kendala yakni adanya saling curiga antara pemerintah pusat dan rakyat Papua. Pemerintah menganggap MRP adalah superbody yang dapat menjadi langkah awal Provinsi Papua menuju kemerdekaan. Oleh karena itu, sejauh mungkin pembentukan MRP dihambat.

Kehadiran MRP sebagai amanah UU Otsus sangat strategis dalam memperjuangkan berbagai kepentingan masyarakat. Tetapi jika mau jujur, mandat MRP masih terbatas. Namun, di lain sisi, lembaga itu tetap menjadi roh UU Otsus.

Pengendali

Tugas penting lainnya dari MRP yaitu menjadi pengendali kondisi sosial-politik yang sangat vital dalam menghadapi dinamika di tengah masyarakat. Namun di sisi lain, kadang muncul kecurigaan terhadap MRP sebagai lembaga yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam situasi tertentu para anggota MRP sepertinya menyadari bahwa fungsinya sebagai perwakilan kultural masyarakat masih lemah. MRP dicurigai dan kerap mendapat stigma atau cap negatif karena hanya ingin berjuang untuk kemerdekaan Papua.

Stigma negatif seperti itu mendapat reaksi tak hanya dari internal MRP, tetapi juga dari para wakil rakyat di DPRP. Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai, seperti ditulis Bintang Papua (2/9), meminta pihak-pihak terkait untuk berhenti membungkam orang Papua dengan stigma separatis.

Stigma itu menjadi semacam pembunuhan karakter bagi masyarakat. Muncul pertanyaan: apakah setiap potensi gangguan keamanan karena tindakan dari orang yang dianggap separatis atau karena ketidakadilan.

Meski masyarakat kerap mendapat stigma negatif, MRP tetap melaksanakan tugas dan kerja-kerja nyata guna membantu masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran untuk memahami bahwa MRP merupakan lembaga kultur orang asli Papua. Tugasnya antara lain melindungi hak-hak orang asli Papua.

Namun, penolakan dua anak asli Agus Alue Alua dan Hana S Hikayobi berpotensi menjadi persoalan baru dalam pelaksanaan otonomi khusus di tanah Papua.

Agus meninggal pada Kamis, 7 April 2011 lalu di RS Dian Harapan Waena Kota Jayapura dalam usia 48 tahun. Ia adalah Ketua MRP periode pertama yang terpilih melalui jalur Perwakilan Agama Katolik Keuskupan Jayapura

Agus ditolak Pemerintah Pusat masuk dalam bursa pencalonan anggota MRP periode kedua: 2011016. Saat memimpin MRP, ia pernah membuat Surat Keputusan MRP yang berisi rekomendasi bahwa bupati/wakil bupati di Papua harus berasal dari orang asli Papua. Rekomendasi ini ditolak pemerintah pusat.

MRP di bawah kepemimpinan Agus juga pernah pula mengeluarkan surat agar pemerintah pusat mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.

Dalam peraturan ini ditegaskan pelarangan penggunaan bendera Bintang Kejora karena dinilai sebagai lambang separatis. Namun, MRP menilainya sebagai simbol kultural orang asli Papua, bukan simbol kedaulatan (Kompas.com, 7/4).

Oleh karena itu, Pemerintah Pusat tak perlu terburu-buru melantik pengurus MRP yang baru diajukan. Hal ini penting agar tak menimbulkan gejolak di masyarakat, yang berimbas pada sulitnya pelaksanaan otonomi khusus.

Nama Hana S Hikayobi perlu dipertimbangkan secara serius untuk diakomodasi. Kekhawatiran pemerintah pusat atas sepak terjang Hana yang tak sejalan dengan sejumlah kebijakan pemerintah pusat yang harus ditanggalkan.

Apalagi, ia dikait-kaitkan dengan aktivitas kelompok-kelompok tertentu seperti sipil bersenjata, yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Hana adalah tokoh yang memiliki keberpihakan terhadap masyarakat dalam pelaksanaan otonomi khusus. Hati dan jiwanya untuk masyarakat Papua.

Masyarakat juga diminta untuk segera mengusulkan kembali nama pengganti Agus Alua Alue berdasarkan keterwakilan unsur yang diisyaratkan. Hal ini penting agar MRP tetap menjadi lembaga yang eksis tidak hanya formal dan fungsional.

Selain itu, setiap tokoh politik Papua yang mengemban tugas, baik di birokrasi maupun legislatif, termasuk MRP, sesungguhnya terbebani dan bertanggung jawab memainkan peran aktif bersama masyarakat, guna menyukseskan agenda nasional pada umumnya, termasuk otonomi khusus.

Dalam konteks lokal, para tokoh politik Papua dituntut memainkan perannya bagi rakyat dan tidak boleh diredam bahkan dilecehkan hak-hak politik dan hak-hak dasarnya oleh pihak mana pun untuk berkiprah dalam setiap level pengabdian sosial, politik, dan keagamaan.

Seperti disebut sebelumnya, meski sempat mengalami penundaan beberapa kali dalam pelantikan anggota MRP, kehadiran MRP merupakan nasionalisme baru dari ujung timur Indonesia. Di mata Gubernur Papua JP Solossa (kala itu), pelantikan anggota MRP merupakan prestasi menggembirakan setelah melewati jalan berliku.

Sementara itu, Kristiadi menilai kehadiran MRP sebagai bentuk nasionalisme baru. Papua dengan ratusan suku bisa sepakat menetapkan 42 orang untuk duduk di MRP. Setelah terbentuk, diharapkan agar persoalan separatisme yang muncul karena ketidakpuasan terhadap pusat bisa segera berakhir.

Selain itu, dengan terbentuknya MRP, diharapkan proses pengelolaan otonomi khusus Provinsi Papua segera dapat dilakukan dengan menyusun strategi percepatan pembangunan yang memihak pada kepentingan rakyat Papua, misalnya pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Aspek penting lain terbentuknya MRP, kehadirannya merupakan stimulus proses pembentukan Indonesia baru.

Penulis adalah anggota DPR asal Papua.


Sumber; http://www.sinarharapan.co.id