Tuesday, February 7, 2012

Sekolah Kampung untuk Masa Depan Papua

MASIH sedikit sumber daya manusia yang terampil dan memiliki pengetahuan cukup di Papua, sementara kekayaan alam yang melimpah di sana belum bisa diolah oleh putra-putri provinsi tertimur Indonesia itu. Sebaliknya, banyak investor asing yang menguasai kekayaan alam di sana.

Rendahnya sumber daya manusia yang berkualitas menjadi perhatian serius John Rahail, 45, dosen di Universitas Cendrawasih, Papua.

Menurutnya, mayoritas masyarakat Papua belum menganggap pendidikan sebagai kebutuhan yang cukup penting.

Melalui lembaga yang dibentuknya, Institute of Community Development and Emporwerment (ICDP), John mendirikan sekolah kampung yang diberi nama Maju Bersama, di pantai timur Desa Beneraf, Kabupaten Sarmi.

Sejak 2007 ia mulai mengembangkan konsep pendidikan berbasis kearifan lokal yang terintegrasi. John mengemas kurikulum pendidikan dengan mendekatkan anak-anak dengan lingkungan.

''Kegiatan belajar mengajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas. Bisa di rumah adat, balai kampung, pinggir sungai, atau di atas pasir. Mereka belajar di bawah pohon dengan beralaskan terpal. Sekolah unik ini merupakan yang pertama di Papua,'' terang John.

Dia menginginkan anak-anak Papua bisa membangun kepercayaan diri, mencintai sekolah, dan senang belajar. ''Karena selama ini masyarakat Papua masih menganggap masalah pendidikan kurang penting,'' imbuhnya.

Sekolah kampung yang didirikan itu ditujukan untuk anak-anak usia dini, mulai 3 hingga 5 tahun. Saat ini sebanyak 50 anak belajar di sana.

Sekolah kampung tersebut hanya memiliki satu bangunan yang digunakan sebagai ruang kelas dan diisi dengan peralatan seadanya. Anak-anak duduk di lantai. Di hadapan mereka ada bangku panjang yang berfungsi sebagai meja.

Di kelas sederhana itu anak-anak bebas bermain dan belajar mengenal warna, benda, gambar, dan lainnya dengan perasaan gembira.

John memang sengaja mengajak anak-anak balita itu untuk mengenal huruf, angka, warna, serta permainan edukatif lainnya. Kegiatan belajar mengajar di sekolah kampung itu hanya diadakan tiga kali dalam seminggu.

Untuk bersekolah di sana, orangtua siswa tidak dipungut biaya alias gratis.

''Ini sangat membantu cara berpikir mereka dari berbagai sisi. Biasanya anak-anak itu jarang mandi. Tapi, sejak ikut sekolah kampung, mereka mandi secara teratur,'' terang John setelah melihat kemajuan anak-anak didiknya.

Pendidikan usia dini bagi anak-anak Papua memang cukup strategis untuk menumbuhkan cinta kepada dunia pendidikan. Nantinya saat memasuki jenjang sekolah formal, anak-anak sudah bisa membaca dan menulis.

Pasalnya, lanjut John, di Papua ada anak usia SMP belum bisa membaca. Hal itu diperparah dengan minimnya komunikasi antara anak dan orangtua di rumah menyangkut kegiatan belajar di sekolah.

''Ada mata rantai yang hilang dalam pembangunan pendidikan di Papua. Proses pendidikan anak dalam keluarga tidak dipersiapkan untuk masuk sekolah formal. Mereka hanya dikenalkan tentang alam dan lingkungan,'' jelasnya.

John pun kerap menemui kasus anak hanya masuk sekolah satu hari, kemudian selama sebulan bolos sekolah. Mereka malas melanjutkan sekolah dan lebih memilih membantu orangtua berladang.

''Ada sebuah cara pandang masyarakat Papua tentang pendidikan. Proses belajar di sekolah dipandang sebagai beban, sesuatu yang menakutkan, keterpaksaan, dan kebiasaan yang memengaruhi tingkat partisipasi anak dalam kehadiran dan proses belajar di sekolah.''

Untuk itu, pendirian sekolah kampung bisa menjembatani kendala-kendala yang dihadapi anak saat memasuki jenjang sekolah dasar.


Penuh kendala

Membangun sekolah kampung bukan tanpa kendala. Masyarakat tidak sepenuhnya mendukung program cemerlang milik John ini. Masyarakat saat itu menganggap bersekolah hanya membuang waktu. Anak-anak yang sekolah belum tentu langsung kerja dan mendapatkan uang. ''Sekolah hanya untuk anak kota. Orang desa tidak perlu sekolah, buang-buang waktu saja'' jelasnya.

Saat didirikan di Desa Beneraf, sekolah kampung mendapat respons negatif dari warga sekitar. John sempat diusir warga yang tidak setuju dengan kehadiran sekolah tersebut.

''Awalnya masyarakat beranggapan bahwa kami hanya mengedepankan mimpi-mimpi daripada kenyataan. Alasan mereka adalah sekolah formal yang memiliki gedung dan guru PNS saja tidak serius, apalagi model sekolah kampung yang hanya mengedepankan partisipasi masyarakat seperti ini,'' ungkapnya.

Sebagai putra asli Papua, John sangat menyadari permasalahan pendidikan yang terjadi di tanah leluhurnya. Walaupun hampir di setiap distrik dan kampung terdapat gedung sekolah dan aktivitas belajar pendidikan dasar, itu tidak menjamin semua anak usia sekolah berpartisipasi.

Angka partisipasi murni (APM) anak-anak sekolah masih rendah. Siswa yang belajar aktif setiap hari di wilayah pinggiran dan kampung hanya 40%.

Dengan kondisi itu, John kemudian memaksimalkan potensi tenaga pengajar lokal dengan merekrut empat pemuda lulusan SMP dan SMA untuk mengajar di sekolah
kampung tersebut.

Pria kelahiran Merauke ini mengajak empat pemuda tersebut untuk membimbing anak-anak di dalam suku maupun sub-subnya untuk mengenal dunia pendidikan.

Di dalam adat masyarakat Papua, terdapat sub-subsuku. Setiap marga memiliki tugas dari subsukunya. Ada yang bertugas mengawasi laut, berperang, serta menjaga keselamatan warga dari perang suku dan binatang buas. ''Nah belum ada subpendidikan. Kami masuk di situ, dan empat pemuda itu memang telah direkomendasikan oleh kepala suku untuk membimbing generasi muda di desa mereka melalui pendidikan,'' ungkap John.

Dalam tiga tahun terakhir, lulusan sekolah kampung ternyata banyak diterima di sekolah dasar, dengan alasan mereka siap memasuki jenjang pendidikan. Anak-anak memiliki banyak pengetahuan serta mampu beradaptasi dan berpartisipasi.

Kini tidak hanya balita yang menuntut ilmu di sekolah kampung. Ibu-ibu yang masih buta huruf mulai bergabung untuk belajar membaca di sekolah tersebut. Biasanya mereka menyempatkan belajar membaca saat menunggui anak di sekolah. Sebuah usaha cerdas yang berbuah manis. (N-3)