Saturday, August 27, 2011

Sulitnya Menoleh ke Timur

Oleh Agus Suman*

Gegap gempita kemeriahan HUT Ke-66 RI tahun ini sedikit ternoda aksi pengibaran bendera ’’Papua Merdeka’’ oleh gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua lalu (17/8). Pengibaran bendera tersebut seolah menegur kita bahwa selama ini ada ’’masalah tersembunyi’’ di kawasan timur Indonesia (KTI), khususnya Papua.
Secara umum, KTI meliputi 14 wilayah provinsi yang membentang luas dari Kalimantan hingga Papua, kecuali Bali. Dengan wilayah yang luas meliputi hampir 70 persen Nusantara dan melimpah ruahnya kekayaan sumber daya alam, KTI mempunyai potensi besar menjadi daerah kawasan paling maju di Indonesia.
Namun, sayangnya, realita menunjukkan, KTI tertinggal jauh dalam pembangunan sehingga tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya masih rendah bila dibanding kawasan barat. Akibatnya, ’’gejolak-gejolak sosial’’ pun muncul di daerah-daerah KTI.
Terlepas dari ada tidaknya intervensi asing, munculnya OPM disebabkan adanya ketidakadilan yang dialami sebagian besar rakyat Papua. Buruknya kualitas infrastruktur, pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan yang jauh dari memadai, serta timpangnya hasil pembangunan lainnya merupakan salah satu contoh ’’sketsa buram’’ wajah Papua.
Hal itu ditengarai menjadi penyebab utama ketertinggalan dan keterbelakangan rakyat Papua. Meski pemerintah telah mengeluarkan ’’jurus ampuh’’ berupa penggelontoran dana otonomi khusus (otsus), hal tersebut kurang manjur. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan, dari total dana otsus yang disalurkan ke Papua dan Papua Barat 2002–2010 yang mencapai Rp 28,84 triliun, ditengarai terjadi penyimpangan Rp 4,12 triliun (di antara Rp 19,12 triliun yang diperiksa BPK).

Ketimpangan Akut
Ketimpangan akut di sebagian besar KTI yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan antarwilayah di Indonesia dikhawatirkan memicu terjadinya disintegrasi bangsa. Inti permasalahan ’’ketimpangan akut’’ yang tak kunjung selesai itu terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya, pertama, kita masih sulit ’’menoleh’’ ke timur. Itu terbukti pada terkonsentrasinya pembangunan ekonomi di Jawa dan Sumatera, khususnya aktivitas sektor industri. Padahal, sektor itu merupakan salah satu sektor penyangga ekonomi (yang biasa disebut tradeable sector), selain sektor pertanian.
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya disparitas pembangunan antardaerah. Pembangunan ekonomi di daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat dibanding daerah yang memiliki tingkat konsentrasi kegiatan ekonomi rendah. Begitu pula, konsentrasi penduduk di dalam dan di sekitar kota-kota besar biasanya diikuti adanya disparitas pendapatan antardaerah (Akita dan Lukman, 1995).
Akibatnya, meski perekonomian Indonesia pada triwulan II/2011 tumbuh 6,5 persen (asumsi semula pemerintah 6,4 persen), ketimpangan masih mewarnai wajah perekonomian nasional. Lebih dari separo produk domestik bruto (PDB) didominasi Pulau Jawa. Menurut data BPS, Pulau Jawa menyumbang 57,7 persen; Sumatera (23,5 persen); Kalimantan (9,5 persen); Sulawesi (4,7 persen); dan sisanya 4,6 persen tersebar di daerah-daerah lain, khususnya Papua dan sekitarnya.
Konsekuensinya, penduduk miskin terpusat di KTI yang mencapai 40 persen, yang terbanyak di Papua dan Maluku (25,95 persen). Jumlah terkecil berada di Kalimantan (6,92 persen). Ketidakmerataan pembangunan dan kesenjangan antardaerah menimbulkan kekecewaan publik terhadap pemerintah.
Hasil survei Setara Institute tentang kinerja pemerintah dalam rangka HUT Ke-66 RI beberapa waktu lalu menunjukkan, prestasi Presiden SBY yang bisa dikenang publik untuk pertumbuhan ekonomi hanya 5,2 persen. Masih kalah jauh dibanding pemberantasan terorisme (28,7 persen); tidak ada prestasi (21 persen); dan demokrasi 19,6 persen (Jawa Pos, 15/8/2011).
Kedua, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM. Hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi, untuk mencapai kemajuan pembangunan, faktor kualitas SDM berperan penting, selain SDA, infrastruktur, dan penguasaan teknologi informasi. Hal itulah yang menghambat kemajuan pembangunan di KTI. Kualitas SDM di KTI masih di bawah rata-rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2009, tujuh di antara 12 provinsi di KTI memiliki IPM di bawah rata-rata nasional (rata-rata IPM Indonesia 2008 sebesar 70,39). Pada tahun yang sama, di antara 126 kabupaten/kota di KTI, 48 kabupaten/kota memiliki IPM di bawah IPM rata-rata KTI sebesar 68,420.
Selain IPM, nilai indeks pembangunan daerah (IPD) yang memperlihatkan tingkat pembangunan provinsi juga masih di bawah rata-rata nasional. Selain itu, beberapa hasil penelitian menunjukkan, KTI hanya memberikan kontribusi 18 persen terhadap penawaran tenaga kerja, kalah jauh oleh kawasan barat Indonesia (KBI) yang memberikan kontribusi 82 persen. Meski KTI mempunyai wilayah 70 persen Indonesia, jumlah penduduknya hanya 20 persen di antara total penduduk Indonesia. Ditengarai, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM KTI tersebut disebabkan terbatasnya sarana-prasarana pendidikan berkualitas serta persebaran penduduk yang tidak merata.
Ketiga, buruknya sarana-prasarana infrastruktur. Sudah menjadi hal umum, kualitas sarana dan prasarana infrastruktur di daerah KTI masih tertinggal jauh dibanding daerah di Pulau Jawa, selain topografi dan relief keadaan alamnya yang tidak bersahabat untuk pembangunan infrastruktur, khususnya di darat. Pembangunan infrastruktur di Indonesia juga masih belum merata dan masih terpusat di Pulau Jawa yang dihuni 59 persen di antara total populasi serta menempati sekitar 7 persen luas daratan Indonesia, namun menyumbang 57,7 persen dari jumlah PDB Indonesia.
Keempat, kondisi keamanan KTI yang belum kondusif. Selain faktor birokrasi dan kemudahan akses distribusi barang-jasa, faktor keamanan memainkan peran penting dalam menarik investor guna menanamkan modalnya untuk usaha. Khusus daerah Papua yang keamanannya sangat rawan oleh gerakan separatis, hal itu cukup menghambat investor untuk menanamkan modalnya di Papua.

Amanah Konstitusi
Tak terasa, republik ini sudah memasuki usia 66 tahun. Namun, kondisi perekonomian Indonesia belum kunjung membaik. Bukannya pemerataan kesejahteraan yang didapat, tapi malah ketimpangan yang saat ini terjadi. Situasi itu tentu saja merugikan karena dapat meninggalkan ’’bom waktu’’ yang bisa meledak kapan saja dalam perekonomian Indonesia.
Masih belum meratanya pembangunan nasional di Indonesia saat ini tentunya mengingkari ’’amanah konstitusi’’ yang bertekad untuk mewujudkan ’’keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’’. Hal tersebut bisa menjadi faktor pemicu terjadinya ’’disintegrasi bangsa’’.
Tentu, kita semua tidak menghendaki hal tersebut terjadi, Papua Merdeka, Borneo (Kalimantan) Merdeka, Maluku Merdeka, dan lain-lain. Karena itu, pemerintah harus meletakkan kembali pijakan pembangunan ekonomi kerakyatan berdasar Pancasila dan UUD 1945 dengan memberikan peluang yang sama kepada setiap rakyat untuk memperoleh akses ekonomi.
Banyak jalan yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Di antaranya, mempercepat pembangunan ekonomi di KTI dengan mendayagunakan keunggulan potensi SDA, SDM berkualitas, penguasaan iptek, serta infrastruktur yang baik. Semoga kita tidak terlambat menyadarinya.

*) Guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya

sumber; http://www.radarjogja.co.id