Tuesday, August 9, 2011

Penguatan Pengetahuan Lokal Papua Dalam Otsus yang Melemah

oleh Theofransus Litaay

Dalam wawancara di tahun 2009, salah satu tokoh LSM terkemuka di Papua mengemukakan bahwa selama masa otonomi khusus, pengetahuan lokal memainkan peranan penting dalam pembangunan Papua. Ada pengaruh positif melalui program-program seperti pemetaan tanah secara partisipatif sebagai masukan bagi perencanaan tata ruang. Sedangkan sisi negatif yang masih ada ialah pembangunan lembaga yang menggunakan jargon “masyarakat/komunitas” namun justru melakukan kegiatan yang mematikan lingkungan di lahan masyarakat. Hal terakhir ini nampak dalam kasus Kopermas di provinsi Papua Barat.

Peningkatan peran pengetahuan lokal diperkuat pula lembaga pendukung pengetahuan lokal di dalam struktur pemerintahan, yang hadir untuk mengakomodir pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan wilaya. Hal tersebut nampak secara jelas lewat kehadiran Majelis Rakyat Papua atau MRP.

Pendapat-pendapat di atas mendukung pandangan bahwa pengetahuan lokal memiliki kapasitas untuk memberikan kontribusi dalam pembuatan kebijakan publik, jika ada penguatan partisipasi publik. Kegiatan semacam pemetaan tanah secara partisipatif misalnya menyediakan peluang bagi pengetahuan lokal untuk dijewantahkan dalam perencanaan pembangunan. Pada sisi masyarakat, hal ini bisa memperkuat rasa memiliki dari masyarakat terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sehingga meningkatkan rasa percaya terhadap proses pemerintahan. Pada sisi pemerintah, partisipasi publik bisa memperkaya pemerintah dengan informasi yang akurat dan menyediakan legitimasi sosial yang kuat.

Legitimasi memiliki hubungan yang erat dengan partisipasi aktif. Secara teoretis, pendapat para ahli menunjukkan adanya legitimasi formal dan legitimasi faktual. Dalam konteks kasus ini, pemerintah lokal memiliki legitimasi formal. Legitimasi yang kuat akan terbentuk jika legitimasi formal didukung oleh legitimasi faktual. Legitimas formal saja tanpa adanya legitimasi aktual akan melemahkan kekuatan formal dari pemerintah itu sendiri.

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia pada saat ini sering mengandalkan pembentukan pemerintah daerah yang merupakan hasil pilkada langsung. Masalahnya adalah, dalam kenyataannya, hasil pilkada langsung tidak serta merta akan memperkuat legitimasi pemerintahan. Mengapa bisa demikian? Karena dukungan publik yang direfleksikan dalam hasil pilkada hanyalah gambaran dukungan dari masyarakat bagi pembentukan kepemimpinan pemerintah sebagai legitimasi formal saja. Terlebih lagi sebagian besar kepala daerah yang terpilih adalah berdasarkan ketentuan mayoritas sederhana, sehingga mereka adalah pemilik suara terbanyak di antara semua calon yang suaranya minoritas.

Efektifitas pemerintahan lebih lanjut ditentukan oleh kemampuan pemerintah untuk memperkuat dukungan berkelanjutan bagi mereka dari masyarakat. Dukungan publik yang kuat adalah dukungan publik secara aktif dan dimungkinkan melalui penguatan partisipasi rakyat, khususnya melalui adopsi pengetahuan lokal di dalam pembangunan. Dukungan publik yang lemah adalah dukungan pasif yang dihasilkan dari kebijakan yang ditentukan oleh elite politik, dimana pengetahuan datang dari elite dan diindoktrinasikan kepada rakyat. Program semacam pembentukan Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat Adat) di Papua Barat adalah salah satu contoh program yang diarahkan oleh elite. (bandingkan laporan CIFOR, 2005).

Lembaga seperti Kopermas didirikan oleh pemerintah kabupaten dengan tujuan untuk memperkuat masyarakat adat. Namun para anggota masyarakat adat justru tidak banyak dilibatkan dalam proses pembentukannya. Komunitas masyarakat adat juga tidak dilibatkan dalam perumusan bentuk dan personalia Kopermas. Pemerintah yang menunjuk orang-orang yang duduk sebagai pengelola Kopermas.

Laporan CIFOR tahun 2005 menunjukkan, bahwa masalahnya adalah orang-orang yang ditunjuk tidak mempunyai skill untuk mengelola organisasi tersebut agar menjadi menguntungkan. Akibatnya banyak Kopermas yang mengalami kerugian besar. Namun anehnya mereka tidak bankrut ataupun dibubarkan karena ternyata Kopermas yang merugi diambil alih oleh pengusaha di luar masyarakat adat dengan ‘meminjam’ nama Kopermas. Pengelola yang baru pada akhirnya melaksanakan kegiatan-kegiatan usaha yang tidak ramah lingkungan (termasuk praktek penebangan hutan) dan yang justru bisa mengancam kelestarian budaya masyarakat adat yang dekat dengan lingkungannya. Jadi pada akhirnya lembaga koperasi yang menyandang nama “partisipasi” justru tidak partisipatif dan tidak berkelanjutan bagi masyarakat adat, baik secara ekologis maupun ekonomis.

Analisis di atas menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Papua sebenarnya memiliki peluang untuk memperkuat legitimasi faktualnya, asalkan dia mampu untuk memperkuat partisipasi masyarakat yang aktif melalui adopsi pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan. Namun pandangan ini juga akan dikritik bahwa kelemahan pemerintah daerah turut dipengaruhi oleh lemahnya dukungan politik dari pemerintah pusat.

Ada trust yang lemah antara pemerintah pusat dengan daerah. Nampaknya ada rasa khawatir dari pusat bahwa kekuatan pengetahuan lokal bisa menggusur identitas nasional yang hendak ditanamkan kepada masyarakat setempat. Padahal indoktrinasi identitas nasional tanpa menghargai identitas lokal justru akan melemahkan integrasi sosial dan politik itu sendiri.

Adopsi pengetahuan lokal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Dari wawancara yang disinggung di atas, penguatan kelembagaan pengetahuan lokal dapat dilakukan melalui MRP. Keuntungannya adalah MRP memiliki kewenangan karena legitimasi lembaga seperti ini telah melalui ujian yang cukup lama dan karena kewenangan yang diberikan oleh UU Otonomi Khusus.

Kekuatan lain dari posisi MRP adalah tugas dan kewenangannya yang diatur di dalam UU Otonomi Khusus Papua. Berdasarkan undang-undang, kewenangan MRP cukup luas dan jika diringkas maka dapat dikatakan antara lainnya adalah untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat asli Papua. Kewenangan secara rinci diatur dalam Pasal 20 UU Otonomi Khusus Papua.

Kekuatan MRP semacam itulah yang membuat kegiatan Musyawarah Besar MRP bersama Masyarakat Adat Papua pada tanggal 9-10 Juni 2010 yang lalu memiliki makna yang penting.

Hasil Mubes MRP ini secara tegas menyatakan bahwa Otonomi Khusus telah gagal dilaksanakan di Papua. Kesimpulan semacam itu merupakan gambaran umum dari 11 rekomendasi yang dihasilkan oleh tujuh komisi yaitu Komisi Kelembagaan, Komisi HAM dan Sosial Ekonomi dan Budaya, Komisi Identitas, Komisi Pengembangan Karakter Persatuan dan Leadership, Komisi Perempuan dan anak dan persoalannya, dll. Hasil rekomendasi MRP semacam ini merupakan jawaban terhadap akumulasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat asli Papua sebagai indigenous people di tanah Papua. Hasil ini akan diserahkan lebih lanjut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Pemerintah Papua.

Dari proses yang berlangsung di MRP ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan lokal masyarakat Papua – melalui MRP dan Masyarakat Adat Papua – telah semakin kuat di tengah melemahnya Otonomi Khusus.