Tuesday, August 2, 2011

Damailah Papua

Oleh; IKRAR NUSA BHAKTI

Hari ini, Selasa, 2 Agustus 2011, diperkirakan terjadi demo besarbesaran di tanah Papua,baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat. Ini merupakan akibat dari sebaran informasi yang menyesatkan sejak dua minggu lalu bahwa para praktisi hukum yang tergabung dalam International Lawyers for West Papua akan membuat pernyataan dukungan atas kemerdekaan Papua dalam pertemuan mereka di Oxford, Britania Raya,2 Agustus 2011.


Demo itu pada intinya adalah sambutan atas diskusi kecil para praktisi hukum tersebut. Beberapa tahun lalu juga ada segelintir orang yang mengatasnamakan Parlemen Inggris dan Eropa menyuarakan persoalan hak-hak asasi manusia yang terjadi di tanah Papua.

Sebulan lalu, tepatnya 5-7 Juli 2011, di Auditorium Universitas Cenderawasih, Abepura, Papua, dilaksanakan Konferensi Damai di Tanah Papua yang dihadiri ratusan perwakilan masyarakat dari seluruh Tanah Papua, termasuk beberapa aktivis LSM dan pengamat politik dari Jakarta.

Penulis dan Prof Dr Indria Samego juga sempat menghadiri acara pembukaan sampai presentasi kunci dari Menko Polhukam, sebelum kami berdua terbang ke Wamena untuk meninjau situasi keamanan di Jayawijaya.

Konferensi ini bukan suatu yang sembarangan karena Menko Polhukam beserta rombongan datang dengan menggunakan pesawat khusus dari Jakarta,bahkan Menko Polhukam menjadi pembicara kunci pada konferensi tersebut.

Pembicara lainnya dari pihak pemerintah antara lain Gubernur Papua Barnabas Suebu, Kapolda Papua saat itu Irjen Pol Bekto Soeprapto(kini WakaBareskrim Polri),dan Kasdam Kodam XVII/ Trikora.Namun, hasilnya sungguh membuat Menko Polhukam terkejut, karena tidak sesuai dengan keinginan membangun suasana damai di Papua.

Selain menghasilkan indikator- indikator politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan yang terkait dengan perdamaian di tanah Papua, konferensi itu juga mengeluarkan 17 butir manifesto politik yang harus dibicarakan dengan Pemerintah Indonesia oleh para juru bicara Papua yang semuanya tinggal di luar Indonesia.

Tanah Papua kini kembali bagaikan tanah yang panas.Paling tidak sejak awal Juli lalu ada dua peristiwa kontak senjata antara aparat keamanan khususnya TNI dan kelompok masyarakat bersenjata yang diduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Dalam sepekan terakhir juga terjadi peristiwa politik yang terkait dengan pemilu kepala daerah, pertama kerusuhan berdarah antarpendukung dua calon bupati di Kabupaten Puncak (pecahan dari Kabupaten Jayawijaya) yang menewaskan 17 orang warga masyarakat (Seputar Indonesia, 1 Agustus 2011) rapat pleno KPU Papua Barat yang diwarnai protes dari kelompok yang tergabung dalam koalisi suara kebenaran yang memprotes tahapan pilkada di Provinsi Papua Barat (Kompas, 1 Agustus 2011).

Kemarin pagi terjadi penembakan di Jayapura empat orang meninggal. Secara umum keamanan di tanah Papua amatlah kondusif. Daerah yang dulu dalam kategori rawan seperti di wilayah perbatasan antara Indonesia- Papua Nugini dan wilayah Pegunungan Tengah, kini amatlah tenang dan damai.

Kalaupun kini terjadi kerusuhan ataupun kegaduhan, lebih banyak karena persoalan pilkada ketimbang soal hubungan antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat di Jakarta.Memang pelanggaran HAM masih terjadi di tanah Papua seperti yang terjadi di Pegunungan Tengah beberapa waktu lalu terhadap pemuka agama setempat dan aktivis LSM.

Tapi, bila dibandingkan dengan era Orde Baru,situasi di Papua kini jauh lebih tenteram dan damai. Sebagai contoh, ketika penulis melakukan penelitian di wilayah perbatasan seperti di Skow,Arso,Wok-kwana,Tanah Miring,dan Sota pada 1987 untuk disertasi doktor, wilayahwilayah itu masih menyeramkan karena terlalu menonjolnya pos-pos penjagaan militer.

Di kilometer 9 antara Abepura- Arso misalnya, ada pos militer yang suka menghentikan kendaraan dan memeriksa barang bawaan penduduk dengan cara yang amat kasar, ditambah dengan pengambilan paksa atas burung-burung kakak tua dan nuri yang dibawa penduduk dengan alasan itu adalah satwa yang dilindungi, tapi kemudian menjadi hak milik para petugas militer tersebut.

Di wilayah Merauke yang diambil penjaga militer kalau bukan burung Cenderawasih ya buaya, rusa, serta burung Nuri kepala hitam.Kini pos-pos militer memang masih ada, tapi tidak terlalu menonjol dan tak ada lagi pemeriksaan kendaraan.

Penulis juga pernah melakukan penelitian ke wilayah perbatasan pada 1996, 2002, dan 2006, situasi kini amatlah tenang dan maju. Situasi politik masa Orba dan kini juga amatlah berbeda. Dulu, kalau penulis berbicara soal pentingnya Irianisasi (kini Papuanisasi) di birokrasi pemerintahan, pasti diperingatkan oleh para aparat militer yang berposisi pejabat sipil dengan kalimat,“Orang Irian jangan diangkat-angkat.”

Dulu ketika Gubernur Izaak Hindom membolehkan Gereja Kristen Maluku berkiprah di tanah Papua pada pertengahan 1980-an, pemuka agama Kristen di tanah Papua marah. Kenapa? Karena orang Irian (kini Papua) dulu tak punya kekuatan apa pun, di bidang ekonomi, politik, birokrasi sudah dikuasai pendatang, lalu satusatunya yang tertinggal yaitu gereja, mengapa pula diberikan pada pendatang.

Kini,Papuanisasi bukan saja terjadi di birokrasi pemerintahan daerah,melainkan juga di pucuk- pucuk pemerintahan daerah. Hanya orang Papua yang bapak- ibunya asli Papua yang dapat ikut pilkada untuk menjadi gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.

Tapi, masih saja ada ketidakpuasan penduduk asli Papua. Kalimat “Tiada Damai tanpa Kemerdekaan” masih muncul saat konferensi damai Papua berlangsung. Lagu Aku Papua jauh lebih keras dikumandangkan ketimbang lagu Indonesia Raya.Masih ada juga orang yang mempersoalkan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Menangani masalah Papua memang perlu kehati-hatian. Aparat intelijen juga jangan terlalu mudah memasukkan orang dalam daftar hitam di tanah Papua,siapa pun dia dan apa pun jabatan orang tersebut. Memang kini tak ada lagi tukang bakso, tukang rujak, atau tukang balon keliling yang adalah para intelijen militer yang bertugas di Papua.

Tapi, para intelijen kini harus semakin cerdas untuk memahami gerak dinamis di tanah Papua. Tanpa pemahaman yang penuh mengenai Papua, kita akan melakukan kesalahan ulang seperti yang terjadi di Timor Timur. Diplomasi mengenai Papua juga harus dilakukan secara cermat dan elegan.

Terakhir tapi penting, membangun Papua bukanlah membangun fisik kota yang semakin indah atau pusat-pusat perbelanjaan yang makin megah. Membangun manusia Papua jauh lebih penting dari segalanya. IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Sumber; http://www.seputar-indonesia.com