Saturday, August 6, 2011

Ada Apa dengan Pepera?

Para pengunjuk rasa di Papua yang didukung Dewan Adat, Otorita Nasional Papua Barat, serta Komite Nasional Papua Barat bermaksud menggugat kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Mereka juga menggungat Penetuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amerika Serikat.

Tentu saja, mereka mendukung konferensi tentang nasib Papua Barat yang digelar pengacara, akademisi, dan anggota parlemen asing di Oxford, Inggris. Seminar yang diklaim diikuti ole para akademisi itu menilai, penentuan pendapat rakyat yang disponsori PBB pada 1969 cacat hukum. Benarkah?

Kisah Pepera dimulai pada 24 Juli 1969. Ketika itu petugas PBB yang mewakili Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB adalah Duta Besar Bolivia Fernando Ortiz Sanz, bersama 16 pengawas PBB lainnya. Mulanya PBB mengutus 50 orang staf ke Papua. Tapi kemudian hanya 16 orang anggota PBB yang ditugaskan ke lapangan, termasuk staf administrasi.

Tugas pengawasan diawali pada 23 Agustus 1968, saat Ortiz Sanz tiba di Papua dan memulai perjalanannya 10 hari 3000 mil ke daerah melalui pesawat. Ia didampingi tim yang terdiri dari 8 Pejabat resmi Indonesia pimpinan Sudjarwo Tjondronegoro, yang menjadi perwakilan Jakarta untuk Papua.

Setelah kembali dari lawatan di Papua, Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekjen PBB, U Than, dan dia memuji pekerjaan Indonesia. "Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat," tulis Ortiz. Dia menambahkan, prinsip ‘satu orang satu suara’ tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman dari penduduk setempat.

Proses Pepera dilaksanakan di 8 Kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura, oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), mewakili penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. DMP juga terdiri atas 400 orang yang mewakili unsur tradisional (kepala suku/adat), 360 orang mewakili unsur daerah dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan.

Hasil dari Pepera yang digelar di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua), semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Papua merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera.

Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara yang setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera 1969.

Pada saat memutuskan untuk menggelar Pepera, tentunya PBB sudah memperhitungkan bahwa konsekuensi dalam dinamika berdemokrasi akan muncul pro dan kontra antara pihak yang menerima atau menolak hasil dari Pepera. Dengan demikian, gugatan terhadap keabsahan Pepera 1969 yang selalu didengungkan oleh Organisasi Papua Merdeka, dianggap sebagai penentangan terhadap hukum internasional, termasuk piagam PBB. [HP]


Sumber; http://www.gatra.com/