Friday, August 26, 2011

Tumpukan Bara Papua

oleh; Tamrin Amal Tomagola

Macet total. Itulah dua kata paling tepat untuk menggambarkan perkembangan upaya mencari solusi paling memuaskan bagi semua pihak di Bumi Cenderawasih.

Pemerintah pusat di Jakarta bertahan bahwa otonomi khusus (otsus)—dalam wujud Majelis Rakyat Papua (MRP)—telah diberikan berikut dana puluhan triliun rupiah selama 10 tahun terakhir kepada dua provinsi Papua. Ini adalah solusi paket istimewa yang tidak pernah diberikan kepada provinsi lain. Masih kurang? Mau apa lagi?

Baik Kantor Presiden, Kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, maupun Kementerian Dalam Negeri tak habis pikir dengan tuntutan orang Papua, yang menurut para pejabat pusat, seakan tak pernah terpuaskan.

Di pihak lain, orang Papua, bedakan dengan rakyat Papua, sama ngototnya. Mereka sejak awal mengatakan, otsus dengan MRP versi pemerintah pusat bukanlah wujud otsus yang mereka minta. Naskah awal otonomi rumusan para penggagas Papua adalah suatu ”superbody” Majelis Legislatif Rakyat Papua yang punya hak veto atas setiap produk hukum dan proyek pembangunan yang merugikan orang Papua (ICG Update Briefing Paper No 108/2010). Tuntutan naskah awal ini dipermak oleh DPR menjadi UU Nomor 21 Tahun 2001 yang membatasi wewenang MRP hanya dalam perlindungan hak-hak sosio-budaya orang Papua.

Inti pertikaian

Menurut orang Papua, pembatasan wewenang MRP inilah yang mengakibatkan orang Papua tidak leluasa untuk berkiprah memajukan dan menyejahterakan rakyat Papua secara keseluruhan, khususnya orang Papua. Menurut orang Papua, otsus versi UU No 21/2001 adalah ”otsus setengah hati”. Wewenang sosial-budaya diberi, tetapi wewenang politik-ekonomi ditahan. Wewenang anggaran dan besarnya anggaran adalah hilir dari wewenang politik-ekonomi, bukan hulunya. Orang Papua menuntut ”paket lengkap” wewenang politik-ekonomi dari hulu sampai hilir.

Lebih lanjut orang Papua berargumen, otsus dengan wewenang MRP terbatas itulah yang menyebabkan pemerintahan daerah Papua tidak mampu melindungi dan menyejahterakan rakyat Papua. Kesimpulannya, otsus versi pusat telah gagal. MRP memutuskan ”mengembalikan” otsus ke pemerintah pusat pada 26 November 2009 lewat Surat Keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009. Sejak itulah pembahasan solusi Papua macet total.

Inilah inti pokok pertikaian antara pemerintah Jakarta dan orang Papua: ranah wewenang dalam rangka otsus, khususnya wewenang MRP. Selama inti permasalahan ini tidak kunjung dipecahkan, berbagai gejolak dalam bentuk konflik vertikal dengan aparat keamanan ataupun konflik horizontal dengan para pendatang akan kambuh setiap saat.

Eskalasi kecurigaan

Dalam kebuntuan macet total ini, yang justru terus berkembang dari hari ke hari adalah kecurigaan dan tuduhan-tuduhan yang dilansir oleh kedua belah pihak. Dari pihak orang Papua yang terus dihantui banjir pendatang tanpa henti, muncul kecurigaan bahwa pemerintah pusat sengaja menerapkan taktik penundaan justru untuk memasukkan pendatang lebih banyak lagi ke Tanah Papua. Memang di beberapa kota utama, seperti Jayapura, Manokwari, dan Merauke, proporsi pendatang sudah hampir mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk ketiga kota itu.

Kecurigaan vertikal ini sudah menjalar menjadi kecurigaan horizontal antarkelompok penduduk asli dengan kelompok pendatang, Jenis dan tingkat kecurigaan berbasis asal daerah ini diperparah lagi oleh kenyataan bahwa para pendatang umumnya Muslim dari Jawa, Bugis, dan Maluku, sedangkan para penduduk asli di utara Papua adalah penganut Protestan, sementara di selatan beragama Katolik.

Para pendatang Muslim dari Jawa dan Bugis di kota-kota utama juga jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan penduduk Papua asli, yang pada gilirannya memicu kecurigaan dan kecemburuan sosial berlapis-lapis. Keterpurukan orang Papua dalam pendidikan dan ekonomi semakin mencolok di wilayah rawa-rawa sepanjang sungai dan di pegunungan.

Berbagai perbedaan dan kesenjangan ini adalah lahan kering konflik yang siap terbakar sewaktu-waktu. Situasi belakangan ini, yang diperparah oleh pelaksanaan sejumlah pilkada di Papua, membuat atmosfer kehidupan semakin tegang, penuh curiga, dan sangat ringkih.

Sebaliknya, pemerintah pusat justru sangat takut dan curiga. Jika MRP juga diberi wewenang dalam politik, keputusan pertama yang akan dibuat adalah Deklarasi Kemerdekaan Papua. Kecurigaan dan ketakutan khususnya sangat kuat di kalangan militer, kepolisian, pemerintah pusat, dan para pendatang di Papua.

Pemerintah Jakarta juga khawatir dengan kekuatan bersenjata orang Papua dan lobi internasional yang gencar dilakukan para perantau Papua di luar negeri, khususnya di Australia, Inggris, daratan Eropa, dan AS. Kedua kekhawatiran yang disebut terakhir itu, menurut beberapa pengamat, agak berlebihan.

Solusi

Jalan keluar yang diambil oleh pihak mana pun sangat tergantung pada pemahaman atas inti pertikaian dan tingkat signifikansi dari faktor-faktor lain yang memperparah penumpukan bara konflik di Papua. Pemerintah pusat lebih melihat masalah Papua sebagai masalah ”administratif-teknokratik”, dan arena itu sama sekali bukan masalah politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika solusi yang ditawarkan adalah penciptaan provinsi baru: Papua Tengah.

Di pihak lain, orang Papua tetap bersiteguh bahwa inti masalah adalah wewenang politik yang ditahan itu. Solusinya: reformulasi otsus yang memberikan wewenang seluas-luasnya kepada orang Papua. Buntu, tentu saja.

Untuk menembus kebuntuan diusulkan langkah-langkah sebagai berikut: (1) tunda penciptaan Provinsi Papua Tengah sampai tercapainya kesepakatan politik baru; (2) sepakati penunjukan mediator nasional yang dapat diperankan oleh LIPI dan lembaga agama lokal; (3) segera selenggarakan ”komunikasi konstruktif” yang diusulkan Presiden SBY tahun lalu; (4) hapus program transmigrasi ke Papua dan stop banjir pendatang; serta (5) kurangi personel militer di Papua, perbanyak satuan Polri hingga desa-desa terpencil. Semoga berhasil.

Tamrin Amal Tomagola Sosiolog; Pemerhati Negara dan Masyarakat


sumber; http://nasional.kompas.com