Saya langsung bilang iya dan loncat-londat kegirangan saat seorang teman menawarkan jalan-jalan ke Papua. Sejak kecil, saya ingin sekali pergi ke Papua. Dalam bayangan saya, Papua tempat yang eksotis, liar, dan masih alami sekali. Sebelum berangkat, saya sibuk mebayangkan akan naik sampan dengan anak-anak kecil yang berkulit hitam dan keriting.
Waktu itu, saya nggak kepikiran kalau tugas yang saya kerjakan hampir mustahil untuk dilakukan. Bayangkan, saya yang nggak tahu apa-apa soal Papua dan korupsi, tiba-tiba disuruh bikin laporan visual. Yah, semacam mirip film dokumenterlah, tentang program anti korupsi. Berhubung, kalau saya tolak entah kapan saya bisa ke Papua, saya bilang iya tanpa berpikir. Gilanya lagi, saya cuma punya dua hari untuk bersiap-siap sebelum berangkat! Padahal, saya baru saja sampai di Jogja setelah dua minggu tinggal di perkampungan nelayan untuk menyusun buku.
Saya pergi berdua dengan Mbak Iwuk yang ditugasi mengevaluasi program tersebut. Kami sampai di Biak sekitar jam 3 pagi. Waktu kami keluar, ada belasan supir taksi (disana angkot yang bisa disewa disebut taksi) menawarkan untuk mengantar kami. Berhubung supir taksinya serem-serem, Mbak Iwuk mengajak saya berjalan kaki karena hotel tempat kami menginap tidak terlalu jauh.
Waktu jalan, saya agak kecewa. Tadinya saya membayangkan akan datang di tempat yang dikelilingi hutan, trus penduduknya tinggal di honai. Ternyata, rumah-rumah di jalan yang kami lewati terbuat dari beton. Yah!
Kami jalan pelan-pelan karena capai dan masih mengantuk. Ya iya lah, barusan terbang 9 jam. Mana di pesawat insomnia saya kumat. Baru beberapa ratus meter kami jalan, ada beberapa ekor anjing menggonggong galak. Huaa… Kami langsung lari tunggang-langgang karena dikejar.. . Hiks, terpaksa olahraga pagi.
Hal unik yang paling saya ingat tentang Papua adalah: Bandara-bandaranya yang ajaib. Menurut saya sih lebih mirip terminal bus daripada bandara. Bayangkan, waktu kami menunggu pesawat di Jayapura, listrik tiba-tiba mati dan jadwal penerbangan keganggu. Hallo! Bandara gitu loh! Trus, selama sekitar dua jam kami di bandara, berkali-kali kami dengar pengumuman permohonanan maaf kalau penerbangan dibatalkan sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Kami tertawa terbahak-bahak tiap kali mendengar kalimat: “Penumpang harap maklum”. Hue..he..he
Waktu mendarat di Sorong, saya heran saat melihat sapi-sapi dengan damainya merumput di pinggir landasan pacu. Ternyata hal tadi belum seberapa. Landasan pacu pesawat membelah sungai dan jalan raya. Jadi, saat ada pesawat lewat, ada portal mirip di lintasan kereta api turun. Motor, mobil, dan semua kendaraan harus memberikan jalan ke pesawat. Nah, kalau pagi, dari pesawat kita bisa lihat pemandangan penduduk lokal nyuci, mandi, atau pub di sungai
Lain lagi dengan Fak-fak. Di kota yang berbukit-bukit tadi, landasan pesawat adalah satu-satunya jalan yang datar. Beda dengan jalan di kotanya yang naik turun. Di bandara ini, pengantar bisa cipika-cipiki di dalam pesawat. Malah kadang pramugarinya harus ngusir penumpang kalau mau berangkat. Trus, pesawat-pesawat kecil tadi ga pakai nomer tempat duduk. Perumpangnya harus rebutan, kaya naik angkot gitu.
Di Papua, saya hampir tidak pernah melihat tanda “Dilarang Merokok”. Sebagai gantinya, di mana-mana ada tanda “Dilarang Makan Pinang”. Yeah, hampir semua orang di Papua membawa sirih dan pinang ke mana-mana. Sebentar-sebentar mereka mengunyah benda ini. Dan, banyak yang seenaknya meludah. Warnanya merah dan sulit dibersihkan.
Sebagai kolektor benda apapun, saya bertekad harus membawa pulang barang “asli”. Tiap kali datang ke toko souvenir, saya batal belanja karena gelang, kalung, dan gantungan kunci yang ada di toko souvenir sebelas duabelas dengan barang di Malioboro. Entah kenapa, banyak juga turis yang tertipu membeli batik papua atau kaos bertuliskan Papua yang sebenarnya diproduksi di Jawa.
Saya tertarik untuk membeli noken. Di Jayapura, meski banyak penduduk lokal memakai barang tadi, sulit sekali mencari penjualnya. Katanya sih, noken tadi biasanya dijajakan dari rumah ke rumah. Saya sampai harus berkeliling beberapa pasar tradisional. Akhirnya, saya menemukan seorang penjual di salah satu pasar. Cuma batal beli karena penjualnya minta Rp 200.000. Malas ya, mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membeli jalinan benang dengan warna yang kebetulan norak semua.
Di bandara, saya masih penasaran saat melihat beberapa orang memakai noken. Saya mendekati seorang ibu yang memakai noken yang warnanya saya suka. Setelah berbasa-basi sebentar, saya bertanya pada ibu tadi di mana menbeli noken tadi. Hi..hi..hi.. padahal sebenarnya saya tertarik untuk membeli nokennya. Entah kenapa, dia dengan cepat memindahkan semua barangnya ke handuk yang ia bawa. Lalu muncul percakapan seperti ini:
Ibu : Kalau mau, kakak bisa ambil. Harganya Rp.200.000. Nanti saya bisa beli lagi di kampung.
Saya: Nggak mau, mahal! Itu kan dah dipakai.
Ibu: Saya baru beli kemarin
Saya: Boleh Rp 80.000?
Setelah proses tawar-menawar yang alot, akhirnya noken tadi menjadi milik saya dengan harga Rp135.000. Horee… Saya langsung pamer ke Mbak Iwuk.
Nyebelinnya, di Manokwari yang menjadi tujuan kami berikutnya, di sepanjang jalan dari bandara menuju hotel ada beberapa penjual noken. Puluhan noken warna-warni tergantung di kios-kios pinggir jalan. Iseng-iseng saya bertanya berapa harganya. Ternyata, harga noken di sana standarnya Rp.100.000. Saya langsung menghibur diri. Noken yang saya beli memang lebih mahal, tapi ada nilai historisnya. Noken tadi punya hiasan mirip gantungan kunci yang terbuat dari taring celeng. Dan bisa jadi bau noken yang saya beli mungkin bekas dipakai membawa babi atau sayur.
Perburuan saya untuk barang “antik” belum selesai. Di Manokwari, saya menemukan sebuah seruling bambu raksasa di toko souvenir. Warna catnya sudah pudar dan terlihat seperti barang kuno. Panjangnya sekitar 70 senti dengan hiasan ukiran burung diatasnya. Kata penjualnya seh, burung tadi (saya lupa namanya) nenek moyang orang Danau Sentani. Harga awal seruling tadi klo nggak salah Rp 250.000. Setelah melewati tawar-menawar yang lama, akhirnya saya bisa membelinya dengan harga Rp.125.000. Berhubung seruling tadi besar, saya tidak bisa memasukkannya dalam tas. Di bandara-bandara yang saya datangi kemudian, orang-orang yang saya temui selalu bertanya benda apakah tadi dengan takjub. Banyak yang berpikir kalau benda tadi tongkat untuk sebuah upacara. Waktu sampai di Jogja, saya baru sadar kalau orang Papua tidak punya tradisi musik tiup. Nah lo? Lalu dari mana asal seruling tadi?
Waktu itu, Papua sedang musim durian. Di pinggir-pinggir jalan ada kulit durian berceceran. Awalnya, saya yang sangat benci bau durian menjadi tersiksa. Berhubung nggak enak hati klo menolak pemberian orang. Saya mulai mencicipi buah yang tadinya saya pikir tidak akan pernah akan sudi makan seumur hidup. Ternyata enak juga. Cuma, karena nggak suka baunya, saya nggak pernah megang buah tadi. Takut kalau baunya tertinggal di tangan. Jadilah saya makan durian dengan bantuan sendok.
Di Papua, saya berkali-kali takjub saat melihat pemandangan di sana. Pantai-pantainya cantik-cantik sekali. Kita bisa lihat ikan, bintang laut, dan kadang-kadang terumbu karang dari permukaan air. Trus di sana orang juga nggak perlu jauh-jauh buat ngelihat hutan yang masih alami. Saya juga beruntung, bisa sampai ke perkampungan-perkampungan di pelosok Papua. Ngobrol dengan penduduk lokal yang engga ngerti bahasa yang saya pakai. Suatu saat nanti, saya pasti akan nyari cara untuk kembali ke sini.
Setelah berkeliling-keliling selama dua minggu, akhirnya kami pulang. Di beberapa kota, saya bertemu dengan beberapa pembuat film. Mereka selalu bilang saya nggak mungkin bisa menyelesaikan laporan visual alias film dokumenter tadi. Saya berkali-kali mendapat ceramah tentang tahapan-tahapan membuat film dokumenter yang butuh riset dan macam-macam. Aduh, klo menurut teorinya seh memang begitu. Sayangnya, pilihan saya cuma ambil saat itu juga atau saya kehilangan kesempatan untuk jalan-jalan. Saya lebih percaya kalau tugas saya sebagai sutradara cuma mengumpulkan gambar. Untuk menyelesaikan dan merangkai film tadi, saya kan punya editor handal. Akhirnya, film tersebut jadi berkat kecerdasan editor saya.