Tuesday, February 15, 2011

Mega atau Miniproyek untuk Papua?

TEMPO Interaktif, Dalam kunjungan kerja ke Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta konsep megaproyek Papua dan Papua Barat dipresentasikan kepada pemerintah pusat pada Januari 2011. Rencana pembangunan megaproyek di Papua adalah kawasan agrobisnis terpadu di Merauke serta pembangunan kawasan ekonomi hijau di Embrano dan Jayapura yang rendah emisi karbon dioksida. Rencana pembangunan megaproyek di Papua Barat adalah kawasan industri ternak, pabrik semen, serta pembangkit tenaga listrik di Manokwari, Fakfak, dan Sorong (Tempo Interaktif, 22 November 2010).

Setiap kali Presiden SBY datang ke suatu daerah, selalu saja terdengar konsep megaproyek, baik yang hendak diresmikan maupun yang akan diresmikan. Tidak begitu jelas apa definisi yang tepat untuk megaproyek itu. Kalau diukur dari anggaran, misalnya, pembangunan kawasan industri ternak tidak akan mencapai angka triliunan rupiah. Apakah kategori megaproyek itu berkaitan juga dengan penggunaan dana utang luar negeri? Atau memerlukan dukungan penuh dari konsorsium bank-bank pemerintah?

Lepas dari itu, Papua memang butuh pembangunan di bidang infrastruktur. Sudah sejak dulu terdengar upaya pembangunan jalan trans-Papua. Namun, sampai sekarang, rencana itu terkapar entah di meja birokrasi yang mana. Bagi pihak yang pro-environment, jalan trans-Papua adalah awal kehancuran alam Papua, terutama hutan di sepanjang jalan. Setiap batang pohon yang ditebang adalah berita kematian bagi planet bumi. Bagi yang pro-development, Papua layak dibangun, mengingat pulau besar itu masih tertinggal dibandingkan dengan pulau-pulau lain.

Titik kompromi ada, seperti pembangunan kawasan ekonomi hijau di Embrano dan Jayapura itu. Namun pembangunan sejenis juga menjadi "favorit" di Tanah Air. Banyak negara di Eropa yang menjanjikan dana agar Indonesia memelihara hutannya. Negara-negara itu menempatkan diri sebagai pengguna dari "napas" yang didapat dari hutan. Para kepala daerah mendapat harapan baru, berupa perlombaan bepergian ke luar negeri untuk memperoleh "dana hijau" itu.

Utang luar negeri
Tapi, tunggu dulu, apakah yang disebut sebagai pembangunan itu adalah megaproyek saja? Bangsa ini seperti belum bisa membangun atau menyelesaikan masalah, kalau ukurannya megaproyek. Untuk mengatasi penyiksaan para tenaga kerja Indonesia di luar negeri, misalnya, Presiden Yudhoyono memutuskan memberikan telepon seluler kepada mereka. Seolah para TKI tidak bisa membeli ponsel sendiri. Langkah seorang presiden semestinya berbeda dengan langkah masyarakat biasa. Perlindungan TKI dalam level presiden adalah mendorong perjanjian bilateral dengan pihak Arab Saudi atau menghukum perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia yang bandel.

Kita telanjur menetapkan definisi keliru, yakni pembangunan adalah proyek yang dibiayai oleh dana utang luar negeri. Pembangunan yang bersandar utang luar negeri. Jarang kita mencoba menggunakan kekuatan sendiri untuk membangun. Akibat yang terasa, Indonesia kehilangan kemampuan untuk mempromosikan agenda-agenda pembangunan yang dijalankan sendiri. Ketika lembaga-lembaga internasional melakukan pemeringkatan, maka yang didahulukan adalah proyek atau program pembangunan yang mendapatkan dana asing itu. Atau memang itu tujuannya, agar dana-dana berikutnya cukup tersedia.

Kenapa kita tidak berpikir dalam skala mikro alias miniproyek? Kendala Papua terutama wilayahnya yang luas, 3,5 kali Pulau Jawa, dengan penduduk yang sedikit. Selain itu, Papua memiliki lebih dari 500 kelompok etnis atau suku. Situasi yang heterogen itu memerlukan multi-pendekatan untuk bisa menyetujui satu program besar. Megaproyek tertentu bisa memukul kohesi sosial-budaya yang telah dibangun. Papua bisa saja menjadi sumber konflik baru, ketika pembangunan dihadapkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan hak milik ulayat atau adat.

Miniproyek untuk Papua tentu bertumpu pada kebutuhan minimal berupa pangan. Pangan bisa diartikan sempit, bisa juga luas, yakni menyangkut hewani dan nabati. Selain pangan, tentu sandang dan papan. Sesuatu yang sudah pernah digariskan dulu oleh Orde Baru, serta terpancang dalam baliho-baliho besar bergambar Presiden SBY di seantero Indonesia, termasuk Papua. Sesuatu yang mudah dimengerti rakyat, tapi seakan sulit dijalankan menjadi program.

Pembangunan khusus
Entah pemerintah daerah yang lupa, atau pemerintah pusat yang tidak mengingatkan, bagaimanapun Papua adalah provinsi yang mendapat status otonomi khusus. Dengan status itu, seluruh proses pembangunan di Papua membawa konsekuensi kepada kekhususan itu. Di bidang politik, misalnya, perhatian layak disebar merata kepada kaum adat, agama, dan perempuan. Kelompok ini difasilitasi dalam Majelis Rakyat Papua.

Di sisi lain, kekhususan berarti proses pembangunan itu ditujukan kepada ras Melanesia. Dengan begitu, terdapat interkoneksi antara pembangunan pada level ras Melanesia dan pembangunan secara umum pada level warga negara Indonesia yang menetap di Papua. Hal ini tidak lagi berupa politik afirmatif (affirmative politics), melainkan sudah menjadi bagian dari desain politik dan pemerintahan modern Papua.

Sudah semakin jelas betapa yang dikejar adalah bukan model pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi. Misalnya mengejar angka rata-rata 10 persen per tahun di bumi Papua. Justru yang diutamakan adalah pengembangan manusia Papua. Arah pembangunan, termasuk megaproyek atau miniproyek, adalah manusia Papua ini. Jadi, ketika muncul pemikiran untuk membangun landasan peluncuran satelit di Papua, misalnya, apakah tidak semakin menjauhkan penduduk Papua dari alam dan budayanya? Siapa manusia Papua yang bekerja di area yang masuk kualifikasi teknologi tinggi itu?

Sebelum konsep megaproyek Papua dan Papua Barat itu benar-benar dipresentasikan di hadapan Presiden SBY pada Januari 2011, selayaknya dilihat lagi seluruh peraturan yang berkaitan dengan Papua. Jangan sampai Papua hanya menjadi satu tempat persinggahan pusat-pusat pertumbuhan baru, sementara masyarakatnya semakin terpinggirkan. Kita tentu tak ingin mengulangi lagi banyak model kegagalan pembangunan, ketika penduduk asli yang diakui secara yuridis kelaparan, sambil melihat roda-roda pembangunan menggila dan menggilas.

Sumber: www.tempointeraktif.com