Friday, April 30, 2010

Penebangan Liar Marak Selama Reformasi, 25 Persen Hutan Papua Hilang

Suara Pembaruan - [JAKARTA] Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Darori memaparkan, areal hutan di Papua dan Papua Barat menyusut lebih dari 25 persen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir luas hutan menyusut dari 31,5 juta hektare (ha) menjadi 23 juta ha.

Penyusutan karena illegal logging besar-besaran dan penggunaan hutan untuk kebutuhan pembangunan permukiman, jalan, pertanian, perkebunan, industri hak pengelolaan hutan (HPH), serta ruang wilayah pemekaran kabupaten di Papua maupun Papua Barat.

Darori, kepada SP, Kamis (29/4), mengemukakan, penebangan liar skala besar masih terjadi di Papua dan Papua Barat. Padahal hutan di kawasan ini menjadi benteng terakhir dari hutan primer di Indonesia yang terus dirambah dan berubah fungsi. Hasil penebangan liar di Papua sebagian besar diangkut ke Tiongkok.

Berkaitan dengan itu, Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden SBY akan diterjunkan ke Papua dan wilayah lainnya untuk melakukan observasi lapangan berkaitan dengan masih maraknya kasus illegal logging. Bersamaan dengan itu, tim terpadu juga menindaklanjuti temuan sebelumnya. Tim terpadu terdiri dari Kementerian Kehutanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Rabu (28/4), menerima Satgas Pemberantasan Mafia, di kantornya. Selain memberi berkas laporan kepada Satgas, Menhut juga mengatakan, pihaknya menagih laporan pelanggaran kawasan hutan dari semua gubernur sesuai surat yang telah dikirim dua bulan lalu.

“Gubernur harus membuka kasus tindak pidana kehutanan di wilayahnya untuk proses penegakan hukum sesuai undang-undang. Sudah ratusan kasus dilaporkan ke pihak berwenang, sebagian besar dibebaskan, hanya beberapa saja yang ditindaklanjuti, dan hanya sedikit yang dihukum. Kalau tidak ada tindakan tegas, illegal logging sulit diberantas,” ujar Zulkifli.
Kuntoro menegaskan, Satgas juga akan menjaring lembaga yang bertanggung jawab menerbitkan sertifikat atas lahan yang diperoleh tanpa prosedur resmi. Satgas akan mengumpulkan informasi, menganalisis, dan menyampaikan solusi penanganan, serta akan menangani kasus kehutanan skala besar.

Sementara itu, terkait dengan alih fungsi kawasan oleh PT Freeport sejak tahun 2004, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengaku sudah mengirimkan surat teguran dan Freeport sedang mengurus izin sesuai prosedur. Namun, sampai saat ini Gubernur Papua belum memberikan rekomendasi. Hal itu diungkapkan Kepala Departemen Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Teguh se- usai Walhi bertemu Menhut, Rabu (28/4).

“Seharusnya Menhut atau pemerintah memberikan sanksi tegas kepada Freeport seperti pencabutan izin operasi karena tindakan Freeport telah melanggar hukum dan merugikan negara,” ujar Teguh.

Di sisi lain Walhi meragukan komitmen Menhut dalam memberantas praktik illegal logging dan mafia hutan sehubungan keputusan Menhut tetap akan memberikan izin pelepasan 36 kawasan hutan untuk pertambangan.

Penerbitan PP No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta PP No 24/2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan, bagi Walhi targetnya adalah menghabiskan sumber daya alam (SDA) yang tersisa.

Walhi menilai kasus-kasus korupsi yang menyangkut penyalahgunaan sumber daya alam (SDA), alih fungsi lahan dan hutan berada dalam kondisi akut. Untuk itu, Walhi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti sejumlah dugaan korupsi tersebut.
Walhi mencatat lebih dari 15 kasus korupsi penyalahgunaan SDA.

Executive Director WALHI Berry Nahdian Forqan menegaskan, tindakan korupsi tersebut bukan saja merugikan negara triliunan rupiah, tetapi merusak lingkungan dan kemerosotan hidup warga negara.

“Kami mempertanyakan apa kendala yang dialami KPK, sehingga sejumlah kasus yang dilaporkan tidak beranjak. Sebab kami menduga korupsi ini selain melibatkan pejabat daerah, pejabat pusat juga terlibat,” katanya usai bertemu sejumlah pimpinan KPK, di Jakarta, Senin (26/4).

Selain itu, Walhi juga mempertanyakan kasus-kasus yang dihentikan penyidikan perkara seperti kasus lumpur Lapindo Brantas dan illegal logging di Riau. Walhi menduga, selain kendala politik, kuatnya intervensi pun ditengarai mempengaruhi proses pengusutan dugaan kasus korupsi tersebut. Untuk itu Walhi dari 25 provinsi di Indonesia, mendesak pemerintah menyatakan pernyataan politik kedaruratan ekologi, menghentikan laju kerusakan lingkungan dan menghentikan izin yang merusak lingkungan.

Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan Awriya Ibrahim, dan Kepala Seksi Penyidik Wilayah II Noor Rakhmat Danumiharja memaparkan, kasus illegal logging di Papua dan Papua Barat berdasarkan temuan tim terpadu yang ditangani secara hukum dan diproses hukum mencapai 95 kasus (Februari-Juni 2005). Kasus yang dinilai lengkap (P21) ada 83 berkasi, 12 dinyatakan bebas karena belum lengkap (P19).

Dari 83 yang diproses di Kejaksaan, 78 berkas lengkap, baik tersangka maupun barang bukti, dan ditindaklanjuti atau disidangkan. Sedangkan sisanya menjadi DPO. Sebanyak 8 pelaku berkekuatan hukum tetap namun hanya dihukum ringan, hanya hitungan bulan saja, 22 pelaku dalam proses kasasi, 24 perkara masih proses banding, 22 masih di persidangan.

Barang bukti yang berhasil disita, antara lain 434.021 m3 kayu, 11 unit tongkang, 167 unit truk, 826 alat berat, 15 unit kapal, dan 111 gergaji mesin, yang nilai totalnya mencapai Rp 2,7 triliun. Namun, ungkap Noor Rakhmat, sebagian besar kayu-kayu sitaan itu tidak bisa diakses, juga ribuan lainnya yang ditemukan di lapangan, karena dikuasai masyarakat. Demikian pula sebagian tongkang dan truk yang berada di lokasi dalam kondisi rusak, sehingga tidak bisa dilelang. [S-26/R-15]