Thursday, March 17, 2011

Dschungelkind, Film Petualangan Sabine Kuegler di Pedalaman Papua

12983225401788211946Sumber Gambar: Google

Bioskop „Cineplex“ yang terletak di Biegenstr. 8 di kota Marburg, Jerman, pada kamis malam (17/2) dipadati pengunjung. Di tengah kepungan film-film Hollywood yang sekarang ini menjadi tema hangat di tanah air karena mereka enggan memasang filmnya karena alasan pajak yang tidak masuk akal, salah satu film berbahasa Jerman „Dschungelkind“ tidak kalah memikat penonton saat itu. „Dschungelkind“ atau di dalam bahasa Indonesia dapat diartikan „Anak Rimba“ ini merupakan film yang baru saja dirilis di Jerman pada tanggal 14 Februari lalu dan berdurasi 132 menit. Film yang disutradarai oleh Roland Suso Richter ini diambil dari cerita novel bestseller dengan judul yang sama. Sebagai lokasi shooting dipilih Taman Nasional Malaysia, taman ini sengaja dipilih sebagai lokasi pengambilan film, karena lokasinya terbebas dari penyakit malaria.

Kisah di film ini diangkat dari novel yang ditulis oleh Sabine Kuegler (38), yang hijrah dari Jerman ke pedalaman Papua pada bulan Januari 1980. Bagi Sabine, hutan Papua merupakan tempat yang benar-benar memberikan kepuasan batin tersendiri. Sabine yang ketika itu berusia delapan tahun bersama dengan kedua orangtuanya Klaus dan Doris Kuegler serta kedua saudara kandungnya, Judith (10) dan Christian (6), terbang dari Jerman dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di hutan Papua. Ayah Sabine, Klaus Kuegler, menjalankan misi di sana sebagai peneliti bahasa dan juga sekaligus misionaris yang terjun di tengah-tengah suku Fayu di pedalaman Papua. Dengan serius ia meneliti bahasa yang digunakan oleh suku Fayu tersebut dalam kurun waktu yang sangat lama. Berkat jasa serta keramahan kepala suku Fayu, Klaus Kuegler dapat mendirikan sebuah pondok untuk keluarganya tinggal selama ia melakukan ekspedisinya di sana. Untuk dapat menuju ke pedalaman tempat suku Fayu berada, mereka harus menempuh perjalanan dengan menggunakan helikopter.

Rumah yang mereka tempati terletak di tepi sungai dan berjarak ratusan kilometer dari peradaban masyarakat modern. Suku Fayu hidup seperti halnya manusia di zaman purba, yaitu hidup dengan berburu dan bercocok tanam. Bagi Sabine dan kedua saudaranya, kehidupan di tengah-tengah hutan yang masih belum terjangkau oleh aliran listrik, air PAM, apalagi televisi dan radio tersebut menjadikan mereka lain dari anak-anak seumurannya. Justru bagi mereka, terutama bagi Sabine, hutan tiada lain adalah surga untuk melakukan segala „kegilaan“ mereka dengan cara berpetualang. Sabine sangat menyayangi binatang, bahkan ia memiliki koleksi laba-laba berukuran besar dan berbulu, yang bisa jadi untuk kebanyakan anak perempuan sangat menakutkan. Ia juga sangat lihai memanjat pohon dan tidak ragu-ragu duduk bersama dengan orang-orang dari suku Fayu dan makan buaya bakar.

Suku fayu tidak mengenal adanya kehidupan setelah kematian. Oleh karenanya, apabila jika salah satu di antara anggota keluarga mereka mati, maka jasad orang yang mati akan tetap disimpan dan hidup bersama dengannya. Mereka juga memercayai, bahwa jika seseorang sakit atau mati, itu berarti ia terkena kutukan. Mereka tidak percaya pada penyembuhan atau pengobatan. Bagi mereka kutukan merupakan hal yang harus diterima dengan lapang dada dan kapanpun harus siap untuk kehilangan.

Pada salah satu bagian film diceitakan, suatu ketika Sabine dan Christian menemukan Auri, seorang anak dari suku Fayu, sedang terisak tangis akibat menahan rasa sakitnya di tengah hutan sendirian selama berhar-hari. Sabine yang merasa iba padanya sangat ingin menolong dan menyelamatkan Auri dari kematiannya yang sia-sia tersebut. Ia kemudian memutuskan untuk secepat mungkin memberitahukan kepada ayahnya, namun agar ia tidak kehilangan jejak, ia meminta Christian untuk tetap tinggal di samping Auri. Si kecil Christian yang awalnya tidak mau dipaksa oleh Sabine untuk tetap berada di sana, sementara ia pulang dan memberitahukan pada ayahnya. Ide yang sangat brilian dari Sabine saat itu adalah ketika ia menyuruh Christian bernyanyi selama ia menemani Auri. Di samping untuk menghilangkan rasa takut, juga sebagai tanda di mana mereka berdua berada. Secepat kilat Sabine berlari dan Christian harus bernyanyi dengan menangis tersedu-sedu di tengah hutan tersebut. Sore menjelang malam, Klaus menemukan keduanya di dalam hutan. Ia langsung membawanya pulang dan beberapa hari berikutnya Auri bisa diselamatkan oleh Doris. Mulai saat itu, Auri menjadi sahabat baik Sabine.

Saat Sabine berusia 17 tahun, ia memutuskan untuk kembali ke Jerman. Ketika itulah ia merasakan «culture shock », karena tidak mudah untuknya beradaptasi dengan kehidupan baru yang sangat berbeda dengan kehidupannya selama ini di dalam hutan. Baginya kehidupan di hutan memang secara fisik membuat siapa saja lelah, akan tetapi kehidupan di dunia modern seperti yang ia alami di Jerman membuatnya lelah secara kejiwaan.

Sabine kecil diperankan oleh Stella Kunkat yang memiliki talenta bermain film sangat bagus. Sementara itu, Sabine dewasa diperankan oleh Sina Tkotsch. Thomas Kretschmann berperan sebagai ayah Sabine, Klaus Kuegler, dan Doris diperankan oleh Nadja Uhl yang sebelumnya pernah juga berperan di dalam film « Mogadischu » yang juga sukses di pasaran. Sebanyak 85 orang pemain didatangkan langsung dari Papua New Guinea dan berperan sebagai suku Fayu. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal kehidupan hutan seperti diceritakan Sabine Kuegler di dalam bukunya. Oleh karenanya, mereka harus dilatih bagaimana menari dan belajar teknik berperang yang biasa dilakukan oleh suku Fayu.

Film yang banyak memberi ilmu tentang kehidupan ini membuat para penonton yang memenuhi gedung bioskop merenung, seperti halnya Mariana Malkova (34). Baginya banyak sekali pelajaran yang dapat diambil setelah menyaksikan film tersebut. Ia melihat bagaimana kehidupan yang sangat jauh dari modernisasi, kejujuran, dan kebersamaan di antara sesama mereka. Perempuan cantik dari kota Bratislava, Slowakia, yang bekerja di Universitas Marburg di bagian International Office ini matanya terlihat berkaca-kaca. Ia mengaku pada bulan Januari 2010 pernah mengunjungi beberapa tempat di Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta, Ambon, dan Bali. Namun, karena kesannya yang sangat mendalam pada film tersebut ia ingin kembali pergi ke Indonesia dan melakukan petualangan serupa suatu saat nanti.


Source: http://hiburan.kompasiana.com