Tuesday, March 29, 2011

3 M2 Tanah Adat Senilai Sepotong Pisang Goreng

18 Ribu Hektar Tanah Adat untuk Sawit di Keerom Dihargai Rp. 384 Ribu per Hektar
Keerom- Harga per hektar yang dibayarkan oleh PT. Tandan Sawita Papua (TSP) kepada 8 Kereth di Timur yang sudah melepaskan 18.337 Hektar hak ulayatnya kurang lebih sebesar Rp 384.000/hektarnya, per meter persegi hanya Rp 384 rupiah, ibaratnya masyarakat adat harus melepaskan 3 m2 tanah mereka untuk mencicipi sepotong pisang goreng yang harga jualnya Rp 1.000 / potong. Orang tua itu berjalan terbungkuk– bungkuk keluar dari ruang pertemuan Kantor Distrik Arso Timur Kabupaten Keerom, tangannya memeluk erat sebuah bungkusan kotak bersampul coklat, isinya uang yang ia sendiri tidak tahu berapa jumlahnya.

“Bapak tra tahu berapa jumlahnya uang ini, yang pertama juga Bapak sudah lupa’, jawab Bapak Tua yang mengaku bernama Hendrik Jumbori sambil berjalan tertatih – tatih ingin segera meninggalkan tempat itu, yang pasti ia merasa senang karena hari itu menerima uang yang baginya adalah jumlah yang sangat banyak dan belum pernah ia lihat sebelumnya tanpa pernah berpikir apakah sebanding dengan hak ulayat yang telah ia lepaskan.

“waktu tali asih pertama kami terima Rp 220 juta, semua sama 8 kereth, kalau yang sekarang ini saya belum tahu karena belum buka jadi”, kata Bernardus Konondroy dari Kampung Suskun yang mengaku sebagai Ketua Kereth dan tidak mengetahui berapa tepatnya luasan tanah ulayat yang telah ia lepaskan kepada PT. Tandan Sawita Papua.

Jeri Enef sebagai perwakilan dari Kereth Enef dari Kampung Kriku yang mengaku saat ini sudah dipekerjakan di kantor PT. Tandan Sawita Papua (TSP) dengan gaji harian sebesar Rp 56.000 / hari juga mengaku Kereth-nya telah menerima sebesar Rp 220 juta February 2010 lalu, dan belum tahu angka pasti uang yang baru saja ia terima karena tahap kedua di sesuaikan dengan besaran tanah dari masing – masing Kereth yang telah dilepaskan.

“selain saya ada 2 keluarga lainnya yang kerja di perusahaan, dan uang ini nantinya akan kami bagi lagi dalam keluarga, kalau yang tali asih pertama saya ada pake untuk bayar mas kawin, dan keperluan lain’, katanya.

Niko Kera selaku Ketua Kereth Kera dari Kampung Yetti mengaku menerima Rp 220 juta juga pada tali asih pertama di tahun 2010 lalu yang di bagi kepada 6 keluarga, dan untuk tali asih kedua yang baru saja ia terima ia belum tahu berapa angka pastinya.

“tahun lalu kami bagi ke 6 keluarga masing – masing dapat Rp 10 juta, kalau saya sendiri ada yang saya simpan dan sebagian saya pake usaha, kalau areal hak ulayat yang diambil perusahaan saya belum tahu, tapi nanti saya akan cek kembali ke perusahaan, tali kasih ini diberikan sesuai dengan banyaknya areal yang dilepaskan dan rencananya akan di berikan 3 tahap”, katanya saat di temui Bintang Papua di halaman depan Kantor Distrik Arso Timur Jumat (25/3) kemarin.

Pengakuan masyarakat bahwa mereka tidak mengetahui berapa besaran jumlah uang yang di terima pada pembayaran ganti rugi tahap kedua ini serta besaran areal yang mereka lepaskan meski mereka telah menandatangani kuitansi dan surat pernyataan tertulis bermaterai yang mencantumkan angka – angka serta luasan hak ulayat yang mereka lepaskan menunjukkan bahwa dalam penentuan harga ganti rugi atas hak ulayat yang katanya diputuskan lewat proses musyawarah itu, masyarakat adat dalam posisi yang lemah dan tidak berdaya, sehingga rawan di manipulasi.

Kadistrik Arso Timur Malensius Musui, SH kepada Bintang Papua menjelaskan bahwa pemberian dana tali asih dari PT. Tandan Sawita Papua (TSP) untuk 8 kereth dan 4 kereth lainnya yang pengaturannya untuk 4 kereth lainnya di sesuaikan dengan hasil musyawarah antara 8 Kereth yang sudah menerima.

“bukan ganti rugi tapi tali kasih dari perusahaan kepada masyarakat, dana yang diberikan ada Rp 4 Milyard lebih, yang diberikan 4 tahap (4 tahun), dan berbeda – beda nilainya tiap Kereth, dan lahan yang di buka seluas 18.000 hektar lebih pada 3 kampung yakni Kampung Susku, Yetti dan Kriku”, kata Kadistrik yang belum genap sebulan menjabat ini.

Menyinggung luasan wilayah yang dilepas tiap Kereth, ia menjelaskan bahwa telah dibentuk tim survey antara perusahaan dan Kereth – Kereth yang ada, dan perusahaan sudah membagi serta memberi tanda batas pada masing – masing hak ulayat tiap Kereth.

PT. Tandan Sawita Papua (TSP) melalui Handoyo selaku Senior Vice President Corporate Care menjelaskan bahwa awalnya luas areal yang akan di buka menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 26.300 hektar dengan nilai kompensasi yang di sepakati sebesar Rp 10 Milyard, namun karena ada 1 kampung yang belum setuju sehingga saat ini yang akan di bayarkan oleh perusahaan hanya kompensasi bagi 18 ribu hektar saja yang di bayarkan secara bertahap selama 4 tahun sejak February 2010 lalu.

“tali kasih tahap kedua ini totalnya Rp 1,8 Milyard tiap Kereth berbeda sesuai besaran arealnya, kalau tahap I Rp 1,8 Milyard dengan nilai yang diterima sama oleh semua Kereth, jadi total seluruhnya kurang lebih Rp 8 Milyard yang di bayar dalam 4 tahun”, tukasnya.

Mengenai pembagian 80 : 20, Handoyo menjelaskan bahwa nantinya perusahaan akan memberikan 20 % areal kebun sawit kepada masyarakat sebagai petani plasma melalui koperasi, dan nantinya koperasi yang akan mengatur system dan mekanisme pembagiannya dengan masyarakat.

“nanti perusahaan akan memberikan 20% lahan kebun sawit dari jumlah areal lahan yang tertanam, jadi bukan 20% dari 18.000 hektar lahan yang diserahkan, karena belum tentu 18 ribu hektar tersebut di tanami semua karena sebagian digunakan untuk membangun jalan, permukiman dan perkantoran termasuk pabrik pengolahan CPO”, kata Handoyo.

Terkait pengakuan beberapa Kereth yang tidak mengetahui secara pasti berapa hektar hak ulayat mereka yang di ambil oleh perusahaan Handoyo membantah, karena menurutnya saat pengukuran dilakukan secara bersama – sama dengan Kepala Kereth masing – masing.

“mereka tidak mungkin tidak tahu, Kepala Kerethnya pasti tahu itu”, jawabnya sembari menambahkan dengan terbukanya perkebunan kelapa sawit ke Arso Timur akan membawa perubahan yang besar. Ia juga menambahkan bahwasanya 18.000 hektar areal itu akan di sertifikatkan dengan status Hak Guna Usaha (HGU) selama 25 – 35 tahun, setelah itu tanah kembali menjadi milik masyarakat adat.

“Dulunya nggak ada kehidupan sekarang ada kegiatan, semua tenaga kerja dari sini kecuali tenaga kerja tertentu yang membutuhkan kecakapan khusus kami datangkan dari luar, tapi secara bertahap kita persiapkan orang asli sini”, ujarnya menjelaskan keuntungan jangka pendek yang akan diterima masyarakat tanpa menjelaskan kerugian jangka panjang yang akan didera oleh masyarakat adat setelah berakhir status HGU tersebut.

Dari surat pernyataan penyerahan tanah ulayat yang di tanda tangani oleh 8 Kereth dari 3 kampung di Distrik Arso Timur kemarin Kereth Putui, dari Kampung Yeti nantinya akan menerima ganti rugi hak atas tanah ulayat mereka sebesar Rp. 2,1 Milyard lebih untuk lahan seluas 6.546 hektar, yang sudah terbayarkan sebesar Rp. 848.282.402.

Sedangkan Kereth Kera telah menerima dana kompensasi sebesar Rp. 436 juta lebih, dan masih tersisa Rp. 452 juta lebih yang dijanjikan akan di bayarkan dua tahun ke depan untuk areal seluas 2.258 hektar yang mereka lepaskan. Adapun Kereth Jumbori dari 2.839 hektar lahan yang mereka lepaskan di berikan kompensasi sebesar Rp. 1,037 Milyard dan yang sudah diterima oleh warga sebesar Rp. 492 juta lebih, sehingga masih tersisa Rp 544 juta lebih.

Untuk Kereth Itungkir dari Kampung Yetti karena luas areal yang dipakai hanya 338 hektar sehingga total yang akan diterima seluruhnya hanya Rp. 317 juta lebih saja, dimana sebanyak Rp. 252 juta sudah diserahkan.

Dua Kereth lainnya dari Kampung Suskun yakni kereth Bugovkir dan Konondroy yang masing – masing melepaskan 1.104 hektar dan 1.231 hektar areal hak ulayat mereka hingga kemarin telah menerima Rp. 325 juta lebih dari Rp 535 juta lebih yang diperjanjikan dan Rp. 338 juta lebih dari Rp. 574 juta lebih yang dijanjikan hingga tahun keempat.
Untuk Kereth Bewangkir dari Kampung Kriku memperoleh kompensasi senilai kurang lebih Rp. 901 juta, dimana sebanyak Rp. 447 juta lebih telah dibayarkan dan masih tersisa Rp. 454 juta untuk 2.374 hektar hak ulayat yang mereka lepaskan. Kereth Enef dari Kampung Kriku yang melepaskan 1.645 hektar hak ulayatnya dijanjikan Rp. 691 juta, dimana hingga kemarin baru Rp. 377 juta lebih yang mereka terima.

Bila merujuk dari data – data dalam dokumen tertulis dan kuitansi yang di tanda tangani oleh masyarakat adat maka dalam tiap tahun pembayaran, dana yang diterima oleh masyarakat adat hanya Rp 1,7 Milyard (Rp. 1.760.010.365) atau tidak mencapai Rp 1,8 Milyard, sehingga total keseluruhan dana kompensasi yang diterima 8 kereth untuk 18.337 hektar hak ulayat yang mereka lepaskan hanya senilai Rp. 7.040.000.000.

Itu berarti nilai ganti rugi hak atas tanah ulayat yang diberikan PT. TSP pada 8 Kereth hanyalah Rp. 384 ribu untuk 1 hektarnya. (Rp. 7.040.000.000 : 18.337 Hektar = 383.923 (dibulatkan 384.000/hektar), sehingga harga per meternya sama dengan Rp. 384 rupiah, (Rp. 384.000 : 1.000 meter persegi),

bandingkan dengan harga sepotong pisang goreng di Kota Jayapura yang kini harganya sudah Rp 1.000/ per potong.

Ironi memang, sudah sangat murah, di bayar 4 tahap selama 4 tahun lagi, itulah sebabnya PT. Tandan Sawit Papua (TSP) berkelit dan menyebutnya sebagai dana tali kasih bukan sebagai ganti rugi hak atas tanah ulayat.

Padahal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 34 huruf a perusahaan perkebunan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) Budidaya maupun Pengolahan dan hendak mengurus Hak Guna Usaha (HGU) wajib menyelesaikan hak atas tanah kepada masyarakat selambat – lambatnya 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya izin dimaksud, dan dalam peraturan perundang – undangan yang ada tidak dikenal istilah “tali kasih’ dan sebagainya namun yang diakui adalah ‘hak atas tanah ulayat”.

Terkait Sistem Plasma di dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 11 disebutkan perusahaan perkebunan yang memiliki IUP wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar “paling rendah” seluas 20 % dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan, bila maksud investasi ini adalah untuk mensejahterakan rakyat, mestinya masyarakat adat maupun Pemerintah Daerah masih bisa ngotot meminta prosentase yang lebih besar bagi masyarakat adat, tidak cukup dengan system 80 ; 20 saja, apalagi bila mengingat dampak jangka panjang yang harus ditanggung oleh masyarakat. (Amr/don)

Source: www.bintangpapua.com