Monday, August 22, 2011

Program MIFEE Dinilai Melanggar HAM

JAKARTA - Program Merauke Integrated Food dan Energy State (MIFEE) dinilai melanggar hak azasi manusia (HAM) oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pasalnya, program yang diresmikan oleh pemerintah satu tahun silam tersebut, dianggap mengancam masyarakat adat akibat konversi lahan dan hutan leluhur.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Berry Nahdian Forqan menilai, proyek MIFEE tak ubahnya proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektare yang terbukti telah gagal di Kalimantan Tengah. "Sayangnya, pemerintah tidak belajar dari kegagalan program lahan sejuta hektare. Proyek MIFEE yang juga atas nama kemajuan pembangunan khususnya masalah pangan dan energi, telah menimbulkan dampak negatif tatanan sosial, budaya, maupun sosial ekonomi, termasuk lingkungan hidup," kata Berry saat ditemui di Kantor Eksekutif Nasional Walhi, Mampang, Jakarta, Minggu (14/8).

Diterangkan oleh mantan Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan dua periode ini, Walhi telah melakukan kunjungan lapangan ke Merauke Juni lalu. Berdasarkan kunjungan tersebut, Walhi menemukan ada 100 ribu hektare kawasan hutan alam Merauke yang telah ditebang, termasuk di dalamnya lahan sagu yang selama ini menjamin pangan masyarakat.

"Rusaknya lahan sagu justru mengancam pangan masyarakat lokal, sedangkan program MIFEE sendiri bertujuan menjadi solusi krisis pangan. Sebenarnya pangan ini untuk siapa? Tentu bukan untuk masyarakat kita," ucapnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Solidaritas Masyarakat Papua Tolak MIFEE (Sorpatom) Merauke, Billy Matemko. Menurut Billy, masyarakat adat di Merauke banyak kehilangan tempat mencari makan. Tak hanya itu, kerusakan juga terjadi pada struktur sosial masyarakat adat. Menurutnya, ada beberapa kampung yang saat ini telah dikuasai sebagai lahan operasional perusahaan, seperti Kampung Zanegi sebagai wilayah operasional PT Medco, Kampung Domande sebagai wilayah operasional PT Rajawali, dan Kampung Nakias sebagai wilayah operasional PT Dongin Prabhawa. "Simbol-simbol adat dan sumber penghidupan masyarakat jelas rusak akibat proyek ini," terang Billy.

Sinal Blegur dari Foker LSM Papua menambahkan, program MIFEE dinilai melanggar HAM khususnya bidang ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Pelanggaran HAM bidang ekosob juga akan berimbas pada terjadinya pelanggaran bidang sipil dan politik. "Karena MIFEE berpotensi membuka pintu masuknya aparat keamanan secara masif untuk menjaga aktivitas perusahaan seperti yang terjadi para kasus PT Freeport," imbuhnya.

Bagaimana respon pemerintah atas desakan sejumlah LSM ini? Direktur Eksekutif Sawit Watch, Abet Nego Tarigan, mengungkapkan bahwa desakan sejumlah LSM telah menunjukkan beberapa hasil, antara lain penurunan jumlah lahan yang akan dikonversi oleh pemerintah. Sebelumnya, pemerintah menetapkan program ini akan mengkonversi 4 juta hektare, kemudian turun menjadi 1,2 juta hektare.

"Tapi sampai sekarang, pemerintah tetap ngotot MIFEE akan mengatasi krisis pangan Indonesia. Tapi saya kira itu hanya dalih. Pemerintah sekarang justru merusak sentra pertanian di Sumatera, dan Jawa sebagai sentra pangan dirusak. Saya khawatir, ini menjadi jalan pangan akan diambil alih oleh korporasi, bukan lagi dikelola oleh masyarakat. Pangan dari program MIFEE juga tidak bisa dijamin untuk kebutuhan lokal, karena ada beberapa hasil yang sudah diekspor," tandas Abet. (tas/jpnn)

Sumber; http://www.jpnn.com