Tuesday, March 29, 2011

Dialog, Satu-satunya Solusi Masalah Papua

Pusat dan Daerah Diminta Dukung JDP
JAYAPURA—Wakil Ketua Komisi A DPR Papua Ir Weynand Watory mengatakan, dialog adalah satu satunya solusi penyelesaian masalah Papua. Pasalnya, pada masa lalu masalah Papua tanpa penyelesaian dan tanpa dialog. Padahal, waktu itu ada masalah politik tapi kemudian ruang itu tertutup. Orang Papua diberi stigma makar dan separatis dan lain lain. Demikian disampaikan Ir Weynand Watory ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Senin (28/3) terkait agenda utama Jaringan Damai Papua (JDP) mempercepat Dialog Jakarta—Papua.

Dikatakan, unsur penting saat ini adalah dialog menyusul rakyat Papua menginisiasi terbentuknya JDP, maka semua pihak harus mendukung baik pemerintah daerah, provinsi maupun Kabupaten/Kota serta pemerintah pusat harus mendukung JDP. JDP melibatkan semua komponen orang Papua baik yang berada di Papua, di luar negeri maupun kelompok TPN/OPM yang terus berjuang di hutan belantara Papua juga harus didengar suaranya, menurutnya, sampai sekarang mereka juga masih masih tercatat sebagai bagian dari pemerintah karena mereka adalah warga negara yang hidup disekitar kita apalagi mereka adalah warga negara.

“Jadi apa susahnya pemerintah mengajak warga negaranya untuk duduk bicara jadi itu mesti diterima,” tuturnya.

Menurut dia, TPN/OPM juga harus didengar apa yang mereka bicarakan. Kalau tidak nanti kita tak dialog dan kita selalu mengklaim bahwa Indonesia negara demokrasi. Yang dibilang demokrasi kalau tak ada dialog bukan demokrasi itu otoriter.

JDP supaya orang Papua juga ada ruang untuk berbicara dan berdialog. Ini terkesan seperti Jakarta menganggap paling mengerti terkait Otsus. “Ada pengabaian pembangunan kala itu. Kita bisa lihat semua angka menujukan nilai kita itu raport merah semua. Pendikan paling jelek. Kesehatan paling jelek, angka kematian ibu dan anak paling tertinggi,” katanya.

Akhirnya akumulasi semua ini orang Papua pada saat reformasi menuntut merdeka. UU Otsus lahir ini supaya semua komunikasi berjalan baik, dialog ini mesti terbuka baik tapi setelah Otsus ternyata yang terjadi seperti dulu lagi.

Pemerintah masih sentralistik. Semua barang masih diputuskan di pusat. Tak ada desentralisasi tapi resentralisasi.

Dia mengatakan, Otsus lahir untuk menjawab sebuah persoalan di masa lalu dimana ada problem problem politik yang tak terselesaikan. Kala itu pemerintah menganggap hal itu sudah final. Sedangkan rakyat Papua mengetahui persis proses itu tak final dan tak sesuai dengan praktek praktek internasional.

Saya pikir itu wajar ini sebenarnya tugas pemerintah yang terabaikan dan kemudian diambil untuk kita berdialog. Tak bisa rakyat Papua demo dimana mana yang menyatakan Otsus gagal. Lalu pemerintah pusat menyampaikan Otsus berhasil. Itu tak bisa harus ada dialog untuk kita bicara. Pasalnya, dialog adalah satu satunya solusi penyelesaian masalah Papua. (mdc/don/03)

Sumber: www.bintangpapua.com