Friday, March 4, 2011

Putusan MK Perpanjang Persoalan Otsus Papua

JAKARTA - Putusan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang penetapan Perpu Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, disambut kekecewaan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Barat, Jimmy Demianus Ijie, menilai putusan MK itu bakal bakal melanggengkan persoalan tentang penerapan Otsus di Papua

"Yang kami sayangkan adalah kenapa MK tidak menggugurkan pasal-pasal lain yang nanti terkait dengan tugas dan fungsi DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) dalam memilih Gubernur?" kata Jimmy kepada wartawan usai putusan sidang di Gedung MK, Rabu (2/3).

Menurut Jimmy, putusan MK itu tetap memunculkan persoalan antara KPUD dan DPRP dalam hal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. "Kalau seperti ini, kan aneh, lembaganya diakui bersifat khusus tapi kewenanganya tidak khusus," cetusnya.

Meski demikian, kata Jimmy, bukan berarti kewenangan DPRP dalam proses Pilkada lantas hilang begitu saja. Sebab, DPRP masih memiliki ruang untuk melakukan verifikasi calon.

Menurutnya, seharusnya MK memberikan kesempatan kepada pihak pemohon untuk menghadirkan para pakar yang memahami persoalan otonomi khusus Papua. "Bukan hanya sembilan hakim MK yang memutuskan ini, maha guru, para pakar, masih banyak orang pintar di republik ini yang bisa menafsirkan hukum. Kenapa MK tidak memberikan ruang?" ujarnya.

Celakanya lagi, lanjut jimmy, dengan menolak uji materi UU Otsus Papua maka MK sama saja tidak melihat pasal 18 UU 21/2001 yang menyebutkan bahwa Gubernur dan Wakil gubernur bertanggungjawab terhadap Dewan perwakilan rakyat Papua (DPRP). "Ini sama saja MK membantu persoalan baru di Papua, MK memberikan potensi egoisme kekuasaan di Papua," tandasnya.

Seperti diketahui, MK menolak uji materi UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang penetapan Perpu Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Menurut MK pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Papua bukan termasuk kekhususan Papua. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis MK Mahfud MD saat membacakan putusan, Rabu (2/3).

MK menyimpulkan dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat tidak beralasan hukum, karena tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah itu. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, menyatakan, kekhususan Provinsi Papua terkait pemilihan gubernur yang berbeda dengan daerah lain hanyalah calonnya harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan/persetujuan DPRP.

“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPR Papua sebagaiman diatur dalam pasal 7 ayat 1 huruf a UU 21/2001 tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaanyang melekt pada daerah yang bersangkutan,” kata Hamdan Zoelva.

Sedangkan persyaratan dan mekanisme lainnya, tetap sama dengan yang berlaku di daerah lain di Indonesia. "Seiring perubahan pemilihan kepala daerah secara langsung menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, ikut merubah mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung di Papua lewat Perpu Nomor 1 Tahun 2008 itu," kata Hamdan Zoelva/

MK juga mengungkapkan bahwa pemilihan gubernur oleh DPRP atau langsung oleh rakyat adalah pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang tidak bertentangan dengan konstitusi."Karena itu, penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 21 Tahun 2001 tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para pemohon tidak memiliki alasan konstitusional yang cukup," kata Zoelva.(kyd/jpnn)

Source: www.jpnn.com