Monday, August 22, 2011

Ketemu Lokasi PLTA Berkelas Emas, Kelelahan Lunas

HUJAN turun sepanjang malam di Wamena. Sambil makan sahur di pedalaman Papua yang dingin itu, saya mengkhawatirkan gagalnya acara penting keesokan harinya: ekspedisi menyusuri tebing Sungai Baliem. Mencari lokasi yang cocok untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bagi penduduk pegunungan tengah Papua.

Pagi itu kami, empat direksi, pimpinan PLN setempat, dan beberapa penunjuk jalan, berangkat diiringi rintik-rintik hujan. Panitia membagikan topi Mbah Surip untuk mengurangi rasa dingin. Dua dokter membawa peralatan medis. Seorang lagi memanggul tabung oksigen.

Setelah 15 menit naik mobil melewati jembatan Sungai Walesi yang lagi ambles digerus banjir, jalan aspal itu tiba-tiba putus. Gunung besar di kanan jalan tersebut, rupanya, longsor menjadi banjir bandang yang menghancurkan apa saja, tak terkecuali jalan aspal itu. Mirip yang terjadi di Wasior, Papua Barat, yang menewaskan ratusan orang itu. Hancurnya jalan raya tersebut membuat banyak anak sekolah harus berjalan kaki sejauh 10 km setiap hari.

Kami pun mulai masuk ke tanah setapak menuruni gunung yang terjal, meloncati sungai kecil, naik lagi ke bukit, menyusuri bibir jurang yang curam, merayapi tebing yang berbatu, dan sesekali kepeleset jalan yang licin. Keringat mulai bercucuran. Jaket dan penutup telinga tidak lagi berfungsi. Gerimis sudah lama berhenti dan langit mulai membiru.

Penduduk setempat, yakni Suku Wamena yang berwajah cendekia, bertanam hortikultura di tebing-tebing seperti itu: ketela, kentang, wortel, berbagai jenis keladi, jagung, jahe, kecipir, dan sebangsanya. Keladi Wamena, apalagi yang berwarna ungu, luar biasa enaknya. Dua malam di Wamena, saya tidak henti-hentinya menikmati keladi ungu itu.

Ketergantungan pada tanaman setempat itulah, rupanya, yang mengakibatkan penduduk terkena bencana kelaparan yang menghebohkan lima tahun lalu ketika terjadi kemarau panjang di situ. Saat ini, dengan hujan yang cukup, semua tanaman kelihatan memberikan harapan. Dan, babi-babi yang berkeliaran di setiap pekarangan kelihatan gemuk-gemulai.

Banyaknya babi itu pula yang mengakibatkan perjalanan ini lebih berat lagi. Penduduk umumnya membuat pagar batu yang menutup jalan setapak tersebut untuk menghalangi babi merusak tanaman. Tapi, kami bukan babi sehingga selalu mampu melompatinya, meski kadang harus merayapinya. Atau, harus dengan cara menaiki sebatang kayu. Sesekali memerlukan pertolongan orang lain agar pantat bisa terangkat.

Bahwa ekspedisi ini tidak menyiksa, semata-mata karena kami memang sedang dalam antusiasme yang tinggi untuk menemukan lokasi PLTA itu. Apalagi, kami bisa menikmati pemandangan yang tidak mungkin ditemukan di tempat lain: alami tapi eksotis. Menengok ke kanan atas, kami melihat perbukitan yang berebut menuding langit. Menengok ke kiri bawah, kami melihat aliran sungai yang berbatu dengan suara air deras yang mistis. Sesekali kami berpapasan dengan banyak anak muda, laki-perempuan, dari Spanyol yang ternyata sangat menyukai wisata jenis ini.?

Yang membuat perjalanan ini juga asyik adalah suhu udara yang sejuk. Seperti di Eropa pada bulan Oktober. Hampir sepanjang tahun Tuhan memberikan AC secara gratis. Siang dan malam. Tidak pilih kasih: manusia, sungai-sungai, gunung-gunung, babi-babi, beserta aneka tanaman di seluruh Wamena. Karena itu, tidak ada hotel atau rumah yang pasang AC.

Ketinggian Wamena yang 1.700 meter di atas laut membuatnya sejuk sepanjang tahun. Sejuk yang nyaman karena humidity yang cukup. Tidak seperti dingin di Eropa yang amat kering yang sering membuat bibir pecah berdarah.

Lebih sedikit dari pukul 11.00, kami sudah tiba di lokasi yang diimpikan. Yakni, satu lokasi yang aliran sungainya menyempit. Kanan-kirinya gunung yang tinggi dan tebingnya terjal. Aliran airnya sangat deras pertanda di hilirnya masih sangat curam. Adanya belokan setelah tebing yang sempit itu sungguh ideal. Gambaran seperti itulah yang sangat cocok untuk sebuah hydro-power. Syarat-syarat untuk dibangunnya PLTA terpenuhi semua. Inilah lokasi yang dikategorikan berkelas emas.

Bersama penduduk setempat, tua-muda, anak-anak dan remaja, gadis-gadis dan ibunya, kami duduk di lereng bukit itu menghadap ke arah lembah aliran sungai. Kelelahan seperti terbayar lunas. Kami sangat menikmati pemandangan sambil beristirahat. Hanya Nur Pamudji, direktur energi primer PLN, yang selama istirahat satu jam itu tetap berdiri. Sebagai pendaki gunung yang andal, dia memberitahukan resep ini: jangan istirahat sampai duduk atau berbaring! Itu akan membuat perjalanan berikutnya lebih berat. Dia tahu, kami tidak boleh lengah karena masih harus kembali menyusuri jalan pulang yang sama beratnya.

Saya bukan pendaki gunung, tapi saya optimistis bisa melakukan perjalanan ini. Saya pernah jalan kaki dari Makkah ke Arafah sejauh 45 km. Yakni, waktu naik haji. Kembali ke Makkah keesokannya juga berjalan kaki. Hanya, saya sekarang sudah 20 tahun lebih tua. Dan masih berstatus pasien transplantasi hati.

Tentu, kami ingin lebih lama di lereng bukit itu. Kami seperti sedang jatuh cinta dengan tanah Wamena. Apalagi, di lokasi itu, kami bisa berkumpul dengan warga setempat dalam suasana yang santai dan akrab. Dialog pun penuh perhatian serta tawa. Mereka mengerti dengan baik bahasa Indonesia. Hanya, kalau mengajukan pertanyaan, masih merasa nyaman dengan bahasa Wamena. Dengan tulus mereka juga mengingatkan agar kami berhati-hati dalam membangun proyek raksasa ini. Gunung-gunung berbatu yang kelihatannya keras itu pada dasarnya mudah longsor.

Merasakan keakraban itu, saya menyesal seandainya tidak jadi ke pedalaman Papua hanya gara-gara berita media yang menggambarkan rusuhnya wilayah tersebut sehari sebelum saya berangkat dari Jakarta. Banyak sahabat yang mencegah saya berangkat Rabu lalu, tapi feeling saya mengatakan akan baik-baik saja.

Rasa kekeluargaan penduduk pedalaman itu juga sangat menonjol. Setiap berpapasan dengan orang yang sama-sama menggunakan jalan setapak itu, mereka selalu mengajak bersalaman. Salamannya pun sangat kuat. Pertanda ingin menjalin persaudaraan dan kepercayaan. Bahkan, beberapa kali, sambil bersalaman itu, mereka sampai merangkul pundak saya.

Tegur sapa seperti itu tidak hanya di jalan setapak, tapi juga di ladang-ladang hortikultura. Melihat kami melintas di situ, seorang petani yang menggarap tanah di lereng bawah sana mendongakkan kepala dan berteriak menyapa. Sebuah keramahan pegunungan yang mestinya bisa melahirkan berkoli-koli puisi. (c5/lk)

Sumber; http://www.jpnn.com