Tuesday, August 9, 2011

Merawat Papua

Papua dan kekerasan seolah menjalin kekerabatan yang sangat erat. Hampir tiada hari tanpa kekerasan di wilayah berjuluk mutiara hitam ini. Sejak resmi bergabung dengan NKRI pada 1 Mei 1963, Papua tidak pernah berhenti bergolak. Aksi-aksi kekerasan bernuansa separatisme, pelanggaran HAM oleh aparat, dan konflik horizontal, terus terjadi dari waktu ke waktu. Entah sudah berapa banyak nyawa yang melayang percuma sebagai korban kekerasan.

Kasus terkini terjadi di Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak, Minggu (31/7), dan di Distrik Abepura, Senin (1/8), dengan total korban 21 orang tewas. Aksi kekerasan di Ilaga yang menewaskan 17 orang, dipicu oleh perselisihan pilkada yang berujung bentrokan antara dua kubu massa pendukung calon bupati. Aksi di Abepura menewaskan empat orang, salah satunya anggota TNI.

Semua aksi kekerasan itu secara terang benderang mengindikasikan bahwa ada yang belum beres di Papua. Ketidakberesan inilah yang membuat Papua masih tertinggal jauh dari saudara-saudaranya di republik ini, kendati sudah 48 tahun bergabung dalam naungan NKRI. Kondisi ini sungguh sangat ironis karena di tengah keberlimpahan sumber daya alamnya, rakyat Papua hingga hari ini masih terbelenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Angka kemiskinan Papua masih di atas 30 persen, sementara angka rata-rata nasional kurang dari 14 persen. Kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan ini bisa menjadi ilalang kering yang mudah terbakar di musim kemarau. Karena itu, bila persoalan mendasar tersebut tidak diselesaikan, maka aksi-aksi kekerasan akan senantiasa terjadi di Papua.

Harus ada terobosan yang luar biasa serius untuk membuat daerah ini bergerak maju. Papua harus dibikin maju, paling tidak setara dengan provinsi lainnya di Tanah Air. Tanpa upaya luar biasa ini kita tidak bisa berharap kekerasan akan menjauh dari Papua. Kita pun tidak bisa terlalu banyak berharap Papua akan tetap menjadi bagian dari NKRI di masa mendatang.

Karena itu, Papua harus dirawat dengan saksama. Papua harus diberi perhatian yang lebih agar daerah ini bisa mengalami percepatan pembangunan di segala lini. Penerapan Otonomi Khusus (Otsus) tampaknya belum cukup untuk membawa Papua ke kondisi yang lebih baik. Otsus hari ini hanya dinikmati oleh segelintir elite, belum seluruh rakyat Papua. Pemerintah pusat dan elite Papua, harus benar-benar mau mendengarkan apa yang menjadi keinginan masyarakat terkait dengan pembangunan mereka ke depan. Sejauh ini kita percaya bahwa mayoritas rakyat Papua masih ingin bersama kita dalam perahu NKRI. Namun bila tidak dirawat atau dikelola dengan baik, maka perlahan tapi pasti, keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia akan semakin menguat dan sulit dilunakkan lagi.

Kita jelas tidak ingin hal itu terjadi. Papua harus dipertahankan sekuat mungkin. Kita tidak ingin kasus Timor Timur, yang kini telah menjadi Negara Republik Demokratik Timor Leste, terulang kembali. Untuk itu, kasus-kasus kekerasan di Papua harus diakhiri. Akar persoalannya harus dicari dan dibereskan.

Kita melihat akar persoalannya ada pada kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Semua itu terjadi akibat kebijakan pemerintah pusat yang kurang pas, ditambah perilaku elite Papua yang mementingkan diri sendiri.

Data dari Majelis Rakyat Papua menyebutkan sejumlah hal yang membuat rakyat Papua terus tertinggal. Pertama, pelanggaran HAM oleh aparat yang masih terus terjadi. Kedua, eksploitasi sumber daya alam yang sangat berlebihan oleh pusat sehingga memiskinkan masyarakat lokal. Ketiga, penguasaan sektor formal dan informal oleh kelompok imigran yang mengakibatkan orang Papua terpinggirkan.

Keempat, pembangunan hanya bersifat proyek sehingga tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat asli Papua. Kelima, pembuatan regulasi yang bertabrakan satu sama lain sehingga melanggar UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Keenam, pelaksanaan Otsus tidak menyentuh kepentingan rakyat asli Papua akibat maraknya korupsi. Ketujuh, penerimaan PNS yang lebih banyak didominasi warga pendatang. Kedelapan, stigma OPM yang menghancurkan karakter orang asli Papua.

Semua persoalan itu harus segera dijawab pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan pendekatan konkret. Harus ada program-program pembangunan yang membuat rakyat Papua merasa menjadi bagian dari pembangunan itu sendiri. Korupsi dana Otsus yang begitu marak di hampir semua kabupaten di Papua harus diusut tuntas. Para koruptor harus dikirim ke balik jeruji besi agar ada efek jera bagi yang lain. Dengan begitu, dana Otsus yang jumlahnya cukup fantastis benar-benar mengalir untuk rakyat.

Untuk itu, harus ada keseriusan dan kepedulian yang lebih dari semua pemangku kepentingan di pusat dan daerah untuk merawat, memberdayakan, dan memajukan Papua. Jangan hanya kekayaan sumber daya alamnya saja yang dijarah ke pusat sementara rakyatnya dibiarkan terus melarat. Selama tidak ada upaya perbaikan yang signifikan, maka jangan berharap aksi-aksi kekerasan akan sirna dari Papua. Selanjutnya, jangan berharap pula rakyat Papua masih sukarela menjadi bagian dari NKRI.

Sumber; http://www.suarapembaruan.com