okezone -
JAKARTA - Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) yang sekaligus menjabat sebagai Presiden Director PT Semen Bosawa Erwin Aksa pesimistis pembangunan pabrik semen di daerah Papua tidak akan mungkin terjadi.
“Agak sulit membangun pabrik semen di sana. Karena, tidak adanya infrastruktur yang mendukung untuk pembangunan pabrik. Di sana jauh dari sumber energi, tidak ada listrik, pasar semen di Papua juga kecil dan tersebar di beberapa kota, agak sulit, walaupun bahan baku utama limestone (batu kapur) banyak tersedia,” kata Erwin, di Jakarta, Rabu (24/2/2010).
Erwin mencontohkan, pengalaman pembangunan pabrik semen di daerah Kupang, yang akhirnya tutup karena tidak memmiliki nilai ekonomis. Di mana kapasitas produksi semen Kupang, lanjut dia, sangat kecil, untuk memenuhi kebutuhan semen di sana yang sebesar 400 ribu ton per tahun.
“Dibanding Kupang, Papua tidak berbeda jauh, hanya sekira 600 ribu ton per tahun, ditambah lagi, tersebar di banyak kota, yang secara logistik sulit ditempuh,” tuturnya.
Erwin menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan semen Indonesia bagian Timur dapat dipasok dari Sulawesi Selatan (Sulsel). “Kami (Bosowa) memasok 40 persen dari kebutuhan Indonesia Timur," jelas dia.
Melihat kondisi yang ada, menurutnya, Bosowa belum berminat untuk melakukan investasi pabrik semen di Papua. “Kalau ingin bangun pabrik itu, kami mempertimbangkan kedekatan dengan pasar, pasarnya juga harus besar dan kapasitasnya pabrik minimal 1,5 juta ton, sehingga akan ekonomis,” jelasnya.
Namun, pihaknya menyarankan, apabila Papua dan PT Freeport Indonesia tetap membangun pabrik, pihaknya menyarankan agar pemerintah dapat memperbaiki infrastruktur terlebih dahulu, seperti jalan, listrik dan pelabuhan.
70% Konsentrat Tembaga Diekspor
Di sisi lain, menurut Armando, hingga saat ini, sekira 30 persen dari total produksi konsentrat tembaga untuk proses peleburan (smelter) dari Freeport Indonesia diserap di dalam negeri, sisanya diekspor.
“Saat ini, produksi kami 5.000 ton per hari, jadi sekira 300.000-500.000 ton per tahun diolah di dalam negeri, sisanya di ekspor,” ungkap Armando.
Hingga saat ini, Armando menjelaskan, pihaknya belum berencana untuk menambah porsi pembagian konsentrat tembaga untuk di dalam negeri dan ekspor. Armando mengakui, PT Freeport Indonesia sedang menantikan hasil dari perundingan bisnis dengan dua calon perusahaan smelter tembaga baru di Indonesia yakni PT Indosmelt dan PT Nusantara Smelting.
“Business to business sudah dibicarakan, saya minta feedback untuk presentasikan proyek, tapi mereka belum datang kembali,” kata Armando.
Lebih lanjut Armando mengatakan, jika kedua pabrik tersebut dibangun, pihaknya akan melakukan studi kelayakan kemungkinan kontrak pasokan konsentrat tembaga. “Karena banyaknya pabrik smelter, ke depannya sekira 2013, konsentrat di dunia akan semakin berkurang dan pasokan akan menjadi langka,” ungkapnya.
Seperti diketahui, terdapat dua pabrik smelter tembaga yang akan dibangun tersebut, masing-masing berkapasitas sekira 200 juta hingga 300 juta ton per tahun. PT Nusantara Smelting berlokasi di Bontang dan PT Indosmelt di Makassar.(Sandra Karina/Koran SI/ade)